Mohon tunggu...
Mustam Arif
Mustam Arif Mohon Tunggu... Freelancer - Warga

Mustam Arif, penggiat LSM tinggal di Makassar.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Hoax Mencabik-cabik Keutuhan Kita

22 Mei 2019   10:13 Diperbarui: 22 Mei 2019   10:43 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: sumber hargo.co.id

Rusuh politik dan anomali sosial saat ini karena kontribusi hoax (informasi bohong) yang masif lewat media sosial. Kita berharap setelah presiden/wapres terpilih nanti dilantik, tak abai program memerangi hoax. Apalagi di saat debat capres, Wapres terpilih KH Ma'ruf Amin telah bersumpah akan memerangi hoax.

Kini hoax tidak hanya mengobok-obok orang bodoh. Orang pintar berpendidikan tinggi pun akalnya diaduk-aduk hoax. Bahaya, karena anak-anak pun tak luput dari hantu kabar rekayasa itu.

Tulisan ini merefleksikan sedikit pengalaman saya terkait hoax di Pilpres 2019. Sisi lain yang mungkin penting untuk kita merawat keutuhan berbangsa ke depan.      

Satu shaf belakang dengan anak-anak, khusu shalat ashar saya terganggu. Brisik, dan menggoda konsentrasi. Apalagi yang didebatkan setengah berbisik beberapa anak itu adalah masalah politik. Tentang hasil pemilihan presiden (pilpres) yang lagi panas. Dunia yang sebenarnya masih jauh dari usia di bawah umur.

Imam sedang membaca Alfatihah. Namun anak-anak se-shaf dengan saya justru berdebat. Seorang anak lumayan gemuk, agak keras suaranya mengatakan Prabowo menang. 

Sebaliknya, anak yang agak ceking di sampingnya mengatakan Jokowi yang menang, kata ayahnya. Tak mau kalah, seorang anak yang sudah agak besar menyatakan Prabowo menang kalau curang. Anak yang lain menimpali, Jokowi yang curang. 

Lalu, satu anak lagi bertanya, jadi siapa yang menang sebenarnya? Ditimpali yang lain bahwa Prabowo yang menang, katanya itu dilihatnya di Facebook. Anak yang satu lagi menyebut Jokwi yang menang. Juga katanya ada di Facebook.

Debat bisik berbisik dalam shalat itu kemudian agak reda. Tetapi saat rakaat (hitungan shalat) berikutnya kembali menyita perhatian. Kali ini bukan lagi soal siapa menang dan siapa yang kalah pilpres. Anak yang ada di samping saya kembali bersisik ke temannya. 

Meski pelan, kedengaran jelas. ''Kalau Jokowi menang, nanti tidak ada azan di masjid, dilarang,'' katanya. Dia lanjutkan lagi bahwa didengarnya dari cerita orang di sekitar rumahnya. Si ceking kembali berbisik, ''Tapi Prabowo nda sembahnyang.'' Bisik-bisik politik anak-anak itu terus berlanjut hingga rakaat terakhir.

Jujur saya harus mengakui, shalat ashar di sebuah masjid di kawasan Panakkukang Kota Makassar ini mungkin tidak sempurna. Debat bisik anak-anak di bawah umur ini tidak sekadar mengganggu konsentrasi. 

Sangat menggoda untuk disimak. Ini hal serius. Anak-anak yang masih di bawah umur begitu terperdaya oleh informasi tidak benar yang direkayasa (hoax). Baik langsung maupun tidak langsung. Ini ironis, terjadi dalam prosesi ibadah pula.

Selain pengalaman shalat ashar di masjid itu, beberapa minggu sebelumnya saya juga dicurhati seorang teman. Ia mengaku miris ketika menghadiri sebuah arisan keluarga di Makassar. 

Hadir dalam acara rutin itu adalah ibu-ibu umumnya bukan berpendidikan rendah. Ada PNS. Ada juga dosen. Ada istri pejabat, istri mantan pejabat, bahkan di antaranya ada istri mantan pejabat negara.

Teman saya itu miris karena yang mendominasi obrolan dalam kelompok arisan keluarga itu justru hoax yang tersebar di media sosial. Mereka tampaknya meyakini salah satu calon presiden jika terpilih akan membatasi umat Islam beribadah. Akan melarang azan di mesjid. Akan mengizinkan komunis. 

Akan mendatangkan tenaga-tenaga kerja asing menggantikan tenaga kerja di Indonesia, terutama tenaga kerja lokal. Dan masih banyak lagi. Teman saya itu prihatin justru karena hoax bisa meyakinkan orang-orang berpendidikan. Nah, bagaimana dengan kalangan masyarakat yang tidak punya pendidikan dan pengetahuan yang memadai.

Energi Buruk Hoax

Apa yang terjadi dengan sejumlah anak di masjid itu merupakan bagian dari dahsyatnya dampak dari energi berita bohong. Hoax menginfiltrasi ke dalam pengalaman kognitif anak-anak. Ini adalah infiltrasi psikologis berbahaya buat anak-anak di bawah umur. Ini akan membangun pengalaman buruk karena jiwa-jiwa yang masih polos terkontaminasi dengan informasi buruk, yang akan terus membekas.

Jika ini terus terpateri, kemungkinan akan menjadi pengalaman buruk yang membentuk karakter mereka kelak. Ketika anak-anak itu terlanjur meyakini seorang calon presiden yang menang dan kemudian calon lain yang dilantik, misalnya. Ini bakal memberi pengalaman buruk tentang ketidakpastian, kebenaran dan etika politik dalam demokrasi.

Perbincangan ibu-ibu di kelompok arisan yang memercayai kabar hoax juga menjadi hal yang ironis. Kejadian ini menggambarkan betapa rapuhnya ketahanan pemahaman individu dan pemahaman kolektif dalam menerima kabar bohong.

Betapa kabar bohong merasuk ke dalam keyakinan sosiologis orang-orang yang cukup berpendidikan. Mungkin dalam lubuk hati mereka, ada rasa ragu dengan kabar-kabar belum tentu benar itu. Tetapi, ketika di dalam pikiran dan perasaan harus bersekutu dengan perasaan fanatisme dukungan, kabar bohong justru berubah menjadi 'senjata' tutur yang menarik.

Debat berbisik di mesjid oleh anak-anak tentang siapa yang menang dan siapa yang kalah pilpres, tidak terlepas dari anomali kompetisi politik melalaui kabar bohong. Keadaan yang dibentuk oleh hasrat politik, kemudian disebar dalam bentuk hoax. Rakayasa kabar bohong menyebar masif ketika menumpangi sarana berkekuatan dahsyat yang bernama media sosial.

Hari ini hoax lewat media sosial dengan mudah meruntuhkan akal sehat sebagian masyarakat. Dalam momentum politik musiman, hoax tidak sebatas kenakalan personal di ranah bebas media sosial. Buzzer dan produk hoax bahkan menjelma ''industri' musiman dengan target massa dan uang.

Hoax dalam fanatisme politik begitu mudah menumbangkan akal sehat dan pikiran jernih. Ini karena hoax begitu leluasa tanpa sekat ruang dan waktu, merasuk dan mengobrak-abrik ketahanan individu. Hoax yang leluasa berselancar lewat gelombang media sosial mampu mengoyak akal sehat orang-orang berpendidikan.

Bagi anak-anak ini berbahaya karena dalam usia yang belia, akan mewarisi keburukan lewat kabar bohong. Anak-anak dengan jiwa yang masih polos ini laksana terlempar ke belantara media sosial dan di dalamnya ada harimau-harimau bernama hoax yang siap memangsa.

Dalam dinamika politik pesta demokrasi ini, kita tentu berharap usainya pemungutan suara, maka kabar-kabar hoax juga ikut berlalu. Tetapi harapan itu ternyata belum. Badai hoax masih terus bergemuruh. Bahkan siapa yang akan dilantik nanti menjadi presiden, hoax mungkin akan tetap subur, ketika kelompok kampret atau cebong tetap merawat ketidakpuasan.

Hari ini ketika kita membuka akun media sosial (misanya Facebook, grup WhatsUpp, Twitter), kita masih ngeri melihat silih berganti informasi hoax mendominasi akun kita. Di antaranya saling klaim kemenangan pilpres. Perang opini hasil pilpres lewat aneka hinaan, ujaran kebencian dan meme ejekan meski kerap lucu. Sebagian besar berupa hoax. Ini membuat akun media sosial tidak nyaman bagi yang berakal sehat. Kita pun bingung ketika kabar-kabar hoax itu juga ikut disebarkan oleh orang-orang yang kita kenal sebagai pribadi yang baik, cerdas, dan pintar.

Perang Melawan Hoax

Hoax pilpres mestinya tidak dicermati sebatas fenomena musiman. Sebab, dampak yang ditimbulkan, bisa menjadi pembelajaran negatif ke depan. Hoax lewat media sosial selalu akan menjadi alat propaganda kepentingan tertentu, yang berdampak massal.

Kita berharap siapa yang menjadi presiden nanti, semoga tidak mengabaikan fenomena hoax. Di era media sosial yang membuat dunia kehilangan sekat, hoax adalah hantu peradaban yang siap memangsa akal sehat manusia.

Karenanya, perang melawan hoax adalah keniscayaan. Pengalaman Pilpres 2019 membuka mata kita melihat dahsyatnya hoax menumpangi media sosial. Selain meruntuhkan akal sehat, hoax juga sangat bisa memecah-belah masyarakat dan mencabik-cabik ketahanan sosial kita. Hoax juga sangat berpotensi menumbuhkan segregasi dan memupus nilai-nilai universal.

Kita berharap perang melawan hoax menjadi salah satu program penting rezim pemerintahan 2019-2024. Program yang memberi edukasi kepada masyarakat, terutama kalangan usia dini. 

Edukasi untuk mendayagunakan potensi media sosial yang kreatif dan produktif. Agar hoax dan media sosial tidak menjadi ladang fitnah yang menggerus akal sehat dan akhlak masyarakat. Tidak ikut merusak peradaban ke depan.*

Tulisan saya yang lain dapat dibaca disini

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun