Lewat Anton yang juga sebagai penerjemah bahasa setempat, kami bernegosiasi. Kami diberi tarif Rp 100 ribu per klik (per satu kali bidikan kamera). Atas petunjuk Anton, kami menawarnya hingga menjadi Rp 60 ribu per satu kali foto.
Untuk melihat mumi agar dikeluarkan dari honai, Anton kembali bernegosiasi dari tarif Rp 150 ribu menjadi Rp 100 ribu. Untuk berfoto dengan mumi, berkat negosiasi Anton kami juga diberi Rp 60 ribu per satu kali foto.
Untuk berfoto, Cesilia punya akal. Setelah bertanya pada Anton, ia membisikkan pada saya dan Mas eko, jangan menggunakan kamera standar agar bisa lebih dari satu kali jepretan. Rupanya penjaga mumi menghitung jumlah foto dari bunyi jepretan. Kami pun menggunakan smarphone Cesilia. Pura-pura menghitung 1..2..3 stand by kemudian oke seolah-olah hanya satu kali kutip, tetapi sebenarnya sudah tiga atau empat gambar terlewati.
Namun, ketika membayar tarif berfoto kami terkejut. Untuk berfoto dengan komunitas, kami harus membayar hampir Rp 5 juta, belum termasuk foto dengan mumi dan honai. Kami bertiga terkejut. Anton pun demikian, tampak gagap.
Ternyata tarif 1 kali jepret Rp 60 ribu itu dikali dengan 23 warga setempat yang ikut berfoto bersama kami. Dengan demikian satu kali foto dengan komunitas dihitung Rp 60 ribu kali 23 orang sehingga menjadi Rp 1.380.000.
Kami tidak tahu, dan mungkin sengaja tidak diberi tahu. Demikian juga kecurigaan Anton. Kami hanya memahami satu kali jepretan adalah Rp 60 ribu. Hahaha... ternyata kami kecolongan.
Anton kembali bernegosiasi. Lewat proses tawar menawar yang alot, akhirnya kami diberi diskon, untuk tidak membayar sampai sebesar itu.
Ini pengalaman unik yang tak akan terlupakan di Tanah Baliem. Ada hikmah di baik ini, bahwa dalam negosiasi harus cermat dan memahami sejelas-jelasnya. Harus ada transparansi dan tidak saling mengakali. Tulisan ini pun bukan bermaksud menyesali, tetapi lebih dari mengungkap keunikan ini, dan mungkin bisa menjadi petunjuk bagi siapa saja yang berkesempatan ke Lembah Baliem.
Mungkin perlu aturan, misalnya kesepakatan bersama komunitas adat, atau dari pemerintah daerah untuk menjamin kepastian tata kelola warisan peradaban bernilai tinggi ini. Agar wisatawan yang datang, bukan pertama dan terakhir. Agar wisatawan, terutama orang asing, tidak bepersepsi buruk.
Pesan Futuristis