Mohon tunggu...
Mustam Arif
Mustam Arif Mohon Tunggu... lainnya -

Mustam Arif, rakyat biasa dan penikmat media, tinggal di Makassar.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mumi di Wamena, Eksotisme dan Pesan Masa Depan

16 Juni 2015   12:37 Diperbarui: 11 Juni 2016   13:21 641
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ke Wamena? Tak lengkap bila tidak melihat mumi. Bukan sekadar mayat kering, tujuh mumi di sini adalah bagian dari magnet eksotisme Lembah Baliem. Namun bila berbicara dengan komunitas penjaga mumi, kita mesti cermat memahami ungkapan mereka. Sedikit kecolongan logika tutur, kita bakal terkejut kemudian. Ketika harus membayar tarif berfoto puluhan kali lipat dari kesepakatan.

Dalam simpulan mendadak, kita merasa tertipu. Cerdik rasanya mereka menyiasati rangkain kata dalam bersepakat. Tetapi saya memahami ini, sebagai bagian dari sejuta keunikan dataran tinggi pegunungan tengah Bumi Papua. Sisi lain dari mop, kecerdasan lokal berupa cerita lucu di Papua yang tersohor itu.

Pengalaman ini saya pendam sekitar satu tahun 10 bulan lalu. Saya tiba di Ibukota Kabupaten Jayawijaya ini awal September 2013. Sekitar dua minggu setelah event rutin Festival Lembah Baliem, setiap 17 Agustus. Saya memenuhi undangan dari Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara (PPMN), sebagai trainer jurnalisme warga. Kami melatih para jurnalis warga untuk mendukung perbaikan kualitas layanan publik Program Kinerja dari USAID. Sebuah konsorsium perbaikan tata kelola pemerintahan diimplementasikan RTI International.

Kegiatan di Wamena berakhir 6 September 2013 petang. Namun penerbangan ke Kabupaten Jayapura telah terjadwal 8 September siang, untuk melanjutkan training yang sama di Sentani. Berarti, kami punya waktu satu hari untuk tamasya di Wamena.

Jadwal jalan-jalan diatur Eko Sulistyanto Program Manager PPMN dan seorang staf lembaga itu, Cesilia Gultom. Tujuan utama kami hari itu mengunjungi tempat penyimpnan mumi.

Selain itu, ingin melihat sebuah sarana penginapan bertarif mewah. Orang Wamena menyebutnya Hotel Jerman karena dibangun seorang berkembangsaan Jerman. Ia membeli sebuah kawasan lembah dan membangun cottage-cottage penginapan berbentuk honai, tanpa mengubah topografi dan tumbuhan yang ada. Di ketinggian ini kita memandang Kota Wamena di kejauhan dilingkupi pegunungan.

Berangkat dari tempat kami menginap, Baliem Pilamo Hotel, kami dipandu Anton, seorang peserta training jurnalis warga, menggunakan mobil rental. Di sepanjang jalan, kami tersuguh pemandangan indah. Padang savana nan luas. Di tengahnya satu dua bangunan khas dari kayu semi parmanen, berpagar kayu terjalin rapi. Semuanya dilatari bukit batu berlapis-lapis, dan langit biru dihiassi awan tipis bergelombang.

Dalam perjalanan ke Hotel Jerman, kami singgah di Tempat Penampungan Akhir Sampah (TPA). Di sini kami memotret ratusan babi yang mengerumuni sampah mencari makanan.

Di Wamena, nilai seekor babi, kadang sebanding bahkan melebihi nyawa manusia. ''Kalau tabrak babi, apalagi babi itu sedang hamil, maka ganti rugi dihitung dari puting susunya. Kalau putingnya delapan dan harga seekor babi Rp 30 juta, maka kita harus membayar denda Rp 240 juta,'' ungkap Anton.

Alasan babi pula sampai Anton masih lajang. Ia belum memiliki hewan istimewa itu yang mencukupi mas kawin.

''Kalau begitu sobat Anton hati-hati, jangan sampai dihitungkan delapan puting, dan akan tambah susah meraih cita-cita dua puting,'' timpal saya berkelakar dan kami tertawa lepas.

Tujuh Mumi

Dari Hotel Jerman, kami menelusuri jalan beraspal mulus ke Distrik Kurulu. Sesuai informasi, di distrik (kecamatan) ini ada tiga mumi. Perjalanan ke Karulu ditempuh kurang lebih satu jam.

Di sepanjang jalan kami sering berpapasan mobil-mobil sejenis Strada menjadi angkutan umum antar-distrik atau kabupaten yang bisa dijangkau. Selain ditumpangi pendudu, kendaraan double cabin itu ditumpuki aneka beban. Mulai sayur-mayur, sembilan bahan pokok sampai ternak babi.

Kepada Anton saya katakan, kalau di Makassar, Strada tidak dimiliki banyak orang, karena tergolong mobil mewah. Anton tertawa. Bisa membayangkan biaya operasionalnya mobil yang jago menengak BBM ini dengan harga bensin subsidi di Wamena ketika itu Rp 23 ribu per liter sistem jatah.

Sesering kami berjumpa anak-anak desa berjalan ceria meski dengan kaki telanjang. Kami mampir dan minta foto bersama. Di sini untuk mengajak warga foto bersama, bukan semuanya gratis.

Masuk ke Kurulu, ada satu rumah tinggal kecil di tengah savana. Sejumlah orang berkumpul di bangunan semi parmanen itu. Menurut Anton ini adalah kantor bupati persiapan, yang sedang menunggu pemekaran kabupaten.

Sesuai informasi, tujuh mumi di Wamena, tersimpan di tiga distrik. Ada tiga mumi di Distrik Kurulu, tiga mumi lagi di Distrik Assologaima, dan satu mumi di Distrik Kurima. Enam mumi di Kurulu dan Assologaima adalah mumi laki-laki. Sementara satu mumi perempuan tersimpan di Kurima. Mumi perempuan ini tidak diperlihatkan kepada publik atau wisatawan. Menurut kepercayaan warga setempat, jika mumi perempuan ini dilihat orang luar, akan membawa
malapetaka bagi masyarakat setempat.

Mumi-mumi ini bukanlah jasad orang biasa dari suku Dani, suku mayoritas di Wamena atau Kabupaten Jayawijaya dan sekitarnya. Mereka adalah kepala-kepala suku dan panglima perang yang disegani dan menjadi panutan di masanya. Sebelum meninggal, apakah terbunuh atau karena sudah berusia tua, mereka berpesan agar jasad mereka diawetkan.

Pengawetan mumi-mumi dilakukan secara tradisional itu ternyata mampu bertahan hingga ratusan tahun. Ketujuh mumi di Wamena ini diperkirakan telah berumur antara 200 hingga 300-an tahun. Sesuai informasi penjaga mumi, pada masanya, mumi-mumi tersebut diawetkan dengan cara mengasapi mayat (jasad) itu selama 200 hari. Jasad diasapi terus-menerus sambil dibaluri lemak babi.

Wim Motok Mabel

Di Kurulu, Anton mengarahkan kami ke Desa Yiwika. Di desa ini ada satu mumi. Mumi yang tersimpan di desa ini adalah jasad dari Wim Motok Mabel.

Nama sebenarnya adalah Mabel. Wim dalam bahasa Suku Dani berarti perang, sedangkan Motok artinya panglima. Jadi Mabel seorang panglima perang.

Sesuai penuturan penjaga mumi ini, Mabel adalah kepala suku sekaligus penglima perang. Ia memimpin peperangan hingga berusia sangat tua. Sebelum meninggal, Mabel berpesan kepada keluarga dan sukunya. Ia meminta jasadnya
nanti diawetkan.

Alasan Mabel, jika jasadnya diawetkan akan membawa keberutungan bagi sukunya yakni akan selalu memenangkan peperangan. Selain itu alasan penting Mabel, jika mumi jasadnya terus dipelihara, keluarga dan sukunya kelak akan memperoleh kesejahteraan hidup.

Mumi Moto Mabel masih utuh bagian-bagian tertentu. Dari mumi ini, Mabel meninggal dalam keadaan duduk memeluk kedua lututnya. Mulutnya terbuka, entah menahan rasa sakit atau meneriakkan sesuatu.

Mumi Motok Mabel disimpan di satu honai, rumah adat Suku Dani bentuknya bulat lonjong, beratap jerami. Honai tidak memiliki jendela dan ada tempat perapian di dalamnya untuk menangkal udara dingin pegunungan.

Honai Motok Mabel bersama puluhan honai dari keturunanya, yang saat ini adalah generasi ketujuh. Menurut informasi seorang penjaga, mumi Motok Mabel sudah berusia lebih dari 270 tahun. Indikatornya dihitung dari kalung di lehernya, dimana setiap lima tahun dilakukan upacara penghormatan dengan mengalungkan satu kalung ke leher mumi.

Mumi Motok Mabel diletakkan dalam sebuah peti dalam honainya, dan selalu diasapi perapian. Sesuai kepercayaan komunitas menjaganya, mumi ini tidak boleh dipegang perempuan karena nantinya berkibat cepat rusak (lapuk).

Pengunjung atau wisatawan boleh melihat mumi ini dengan tarif tertentu. Mumi akan dikeluarkan dari honai jika sudah ada kesepakatan. Tarif lain lagi jika kemudian pengunjung ingin berfoto dengan mumi.

Kecolongan

Sebagaimana pengunjung lainnya, kami disambut pimpinan komunitas penjaga mumi. Anton meminta kami belum boleh memotret sebelum ada kesepakatan dengan mereka.

Lewat Anton yang juga sebagai penerjemah bahasa setempat, kami bernegosiasi. Kami diberi tarif Rp 100 ribu per klik (per satu kali bidikan kamera). Atas petunjuk Anton, kami menawarnya hingga menjadi Rp 60 ribu per satu kali foto.

Untuk melihat mumi agar dikeluarkan dari honai, Anton kembali bernegosiasi dari tarif Rp 150 ribu menjadi Rp 100 ribu. Untuk berfoto dengan mumi, berkat negosiasi Anton kami juga diberi Rp 60 ribu per satu kali foto.

Dengan demikian, Cesilia telah membuat hitung-hitungan dan rencana kami akan berfoto dengan komunitas masing-masing satu kali yakni saya sendiri, Mas Eko dan Cesilia, kemudian kami bertiga bersama komunitas. Jadi ada empat kali foto. Kemudian dengan mumi masing-masing satu kali atau tiga kali foto. Lalu dengan rumah honai masing-masing juga satu kali foto.

Untuk berfoto, Cesilia punya akal. Setelah bertanya pada Anton, ia membisikkan pada saya dan Mas eko, jangan menggunakan kamera standar agar bisa lebih dari satu kali jepretan. Rupanya penjaga mumi menghitung jumlah foto dari bunyi jepretan. Kami pun menggunakan smarphone Cesilia. Pura-pura menghitung 1..2..3 stand by kemudian oke seolah-olah hanya satu kali kutip, tetapi sebenarnya sudah tiga atau empat gambar terlewati.

Namun, ketika membayar tarif berfoto kami terkejut. Untuk berfoto dengan komunitas, kami harus membayar hampir Rp 5 juta, belum termasuk foto dengan mumi dan honai. Kami bertiga terkejut. Anton pun demikian, tampak gagap.

Ternyata tarif 1 kali jepret Rp 60 ribu itu dikali dengan 23 warga setempat yang ikut berfoto bersama kami. Dengan demikian satu kali foto dengan komunitas dihitung Rp 60 ribu kali 23 orang sehingga menjadi Rp 1.380.000.

Kami tidak tahu, dan mungkin sengaja tidak diberi tahu. Demikian juga kecurigaan Anton. Kami hanya memahami satu kali jepretan adalah Rp 60 ribu. Hahaha... ternyata kami kecolongan.

Anton kembali bernegosiasi. Lewat proses tawar menawar yang alot, akhirnya kami diberi diskon, untuk tidak membayar sampai sebesar itu.

Ini pengalaman unik yang tak akan terlupakan di Tanah Baliem. Ada hikmah di baik ini, bahwa dalam negosiasi harus cermat dan memahami sejelas-jelasnya. Harus ada transparansi dan tidak saling mengakali. Tulisan ini pun bukan bermaksud menyesali, tetapi lebih dari mengungkap keunikan ini, dan mungkin bisa menjadi petunjuk bagi siapa saja yang berkesempatan ke Lembah Baliem.

Mungkin perlu aturan, misalnya kesepakatan bersama komunitas adat, atau dari pemerintah daerah untuk menjamin kepastian tata kelola warisan peradaban bernilai tinggi ini. Agar wisatawan yang datang, bukan pertama dan terakhir. Agar wisatawan, terutama orang asing, tidak bepersepsi buruk.

Pesan Futuristis

Dalam perjalanan pulang ke hotel, sambil merasa puas telah melihat mumi, saya mencoba merenung. Mumi yang terpelihara itu kini telah menghidupi generasi pelanujutnya.

Wim Motok Mabel telah membuktikan pesanya. Wasiat meminta jasadnya diawetkan untuk memberi kesejahteraan hidup keturunanya kelak, terbukti dalam rentang waktu dua atau tiga ratusan tahun kemudian.

Pikiran Mabel mampu menjangkau masa depan untuk keturunanya. Seolah ia memahami denyut masa depan Papua. Tanah yang dianugrahi limpahan sumber daya alam, tetapi suatu ketika, pulau ini tertinggal dari pacuan kemajuan.

Saya teringat riset Jared Diamond, profesor fisiologi manusia dari Los Angeles, yang dituangkan dalam bentuk film dokumenter Out of Eden oleh NationalGeographic. Diamond menyimpulkan Pulau Papua tertinggal dari derap awal modernisasi berbagai benua, karena tidak memiliki hewan produktif dan karbohidrat berprotein tinggi, serta terlambatnya budaya bercocok tanam. Saya pikir, simpulan Diamond terlalu sederhana.

Mumi Motok Mabel seolah menjadi pesan futuristis, ''Bila kalian awetkan jasadku, suatu ketika akan menghidupimu.'' Bagi saya, itu makna harfiahnya.

Di balik itu, mumi jasad Mabel adalah pesan simbolik. Mumi secara material bukanlah sumber rezeki abadi. Tetapi keputusan Mabel memumikan jasadnya sebagai penanda etos, untuk kecerdasan mengelola kekayaan di punggung dan perut bumi Papua. Mungkin itulah pesan masa depan Mabel untuk kemakmuran sesungguhnya. (mustam arif/mustamarif@gmail.com)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun