Mohon tunggu...
Mustafa Layong
Mustafa Layong Mohon Tunggu... Pengacara - Penggiat Pers

Menulis biar ingatan tak tumpah

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Pengusaha Bebas Menentukan Isi Perjanjian Kerja?

1 Juli 2024   16:38 Diperbarui: 1 Juli 2024   17:05 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Saya banyak menerima keluh kesah pekerja yang mengalami pemutusan hubungan kerja secara sepihak dari suatu perusahaan. Selain kehilangan pekerjaan, dia juga tidak akan mendapat kompensasi apapun dari layoff yang dilakukan pemberi kerja. Alasannya karena sudah disepakati dalam perjanjian kerja jika pengusaha melakukan PHK dengan alasan tertentu, maka pekerja tidak memiliki hak menuntut kompensasi dan ganti rugi. 

Sepintas, klausul perjanjian tersebut sah karena kedua belah pihak telah menyepakatinya. Berdasakan Pasal 1338 KUHPerdata bahwa   makna semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi yang membuatnya, atau lebih dikenal dengan asas kebebasan berkontrak. Akan tetapi jika dicermati, setiap orang memang boleh membuat perjanjian dengan pihak lain secara bebas selama dilakukan dengan iktikad baik dan tidak bertentangan dengan undang-undang.

Sementara itu, UU Ketenagakerjaan dan UU Cipta Kerja telah mengatur secara jelas kewajiban pihak untuk membayar ganti rugi dan kompensasi saat terjadi pengakhiran perjanjian kerja. Sebagaimana diatur dalam pasal-pasal di bawah:

Pasal 62 UU Ketenagakerjaan

Apabila salah satu pihak mengakhiri hubungan kerja sebelum berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan dalam perjanjian kerja waktu tertentu, atau berakhirnya hubungan kerja bukan karena ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1), pihak yang mengakhiri hubungan kerja diwajibkan membayar ganti rugi kepada pihak lainnya sebesar upah pekerja/buruh sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja.

Pasal 61A UU Cipta Kerja

(1) Dalam hal perjanjian kerja waktu tertentu berakhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1) huruf b dan huruf c, Pengusaha wajib memberikan uang kompensasi kepada Pekerja/ Buruh.

(2) Uang kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada Pekerja/Buruh sesuai dengan masa kerja Pekerja/Buruh di Perusahaan yang bersangkutan.

Pasal 15 PP 35/2021

(1) Pengusaha wajib memberikan uang kompensasi kepada Pekerja/Buruh yang hubungan kerjanya berdasarkan PKWT.

(2) Pemberian uang kompensasi dilaksanakan pada saat berakhirnya PKWT. 

(3) Uang kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada Pekerja/Buruh yang telah mempunyai masa kerja paling sedikit 1 (satu) bulan secara terus menerus. 

(4) Apabila PKWT diperpanjang, uang kompensasi diberikan saat selesainya jangka waktu PKWT sebelum perpanjangan dan terhadap jangka waktu perpanjangan PKWT, uang kompensasi berikutnya diberikan setelah perpanjangan jangka waktu PKWT berakhir atau selesai.  

Perjanjian kerja Didasari Iktikad baik dan berdasarkan hukum

Berdasarkan ketentuan pasal 1 ayat 9 dan 10 UU Ketenagakerjaan, menerangkan definisi perjanjian kerja, yakni :
"Perjanjian Kerja adalah perjanjian antara Pekerja/Buruh dengan Pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak." dan "Perjanjian Kerja Waktu Tertentu yang selanjutnya disingkat PKWT adalah Perjanjian Kerja antara Pekerja/ Buruh dengan Pengusaha untuk mengadakan Hubungan Kerja dalam waktu tertentu atau untuk pekerjaan tertentu."

Secara umum, perjanjian kerja yang telah dibubuhi tandatangan kedua pihak dapat dianggap sebagai para pihak telah membaca dan sepakat atas apa saja konsekuensi hak dan kewajiban di dalamnya. Meski demikian pendapat itu tidak berlaku absolut sebab adanya beberapa kondisi yang mempengaruhi dan mengganggu kebebasan salah satu pihak yang melakukan perikatan. Bahwa Munir Faudy menyebutkan dalam suatu penjanjian kontrak berlaku doktrin keadilan (Munir Faudy. 2003). Suatu kontrak tidak dapat diberlakukan jika ditemukan adanya ketimpangan atau berat sebelah hanya menguntungkan satu pihak berdasarkan doktrin ketidakadilan (unconscionability). Artinya meskipun telah ditandatangani suatu kontrak dan adanya kewajiban membaca isi kontrak, tetapi ternyata kontrak sangat berat sebelah dan sangat tidak adil bagi salah satu pihak dan sangat menyinggung rasa keadilan. Misalanya kontrak yang melepaskan tanggung jawab salah satu pihak, meskipun pihak tersebut melakukan kesengajaan atau kelalauian yang merugikan pihak lain.

Pemenuhan doktrin ketidakadilan itu merupakan salah satu bagian dari itikad baik dalam berkontrak. Jadi meski pun para pihak yang berkontrak memiliki kebebasan untuk melakukan perjanjian apa pun, tetapi harus memenuhi syarat-syarat yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan. Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata menetapkan bahwa kontrak harus dilaksanakan dengan iktikad baik. Sehingga iktikad baik merupakan salah satu hal penting dalam perjanjian kerja di mana itikad baik tidak hanya ada pada pelaksanaan perjanjian, tetapi juga harus ada pada saat dibuatnya perjanjian. 

Selain itu, setiap pihak yang melakukan kontrak perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

1. Memenuhi syarat-syarat sahnya kontrak.

2.Untuk mencapai tujuan para pihak, kontrak harus mempunyai causa.

3. Tidak mengandung causa palsu (dilarang UU).

4. Tidak bertentangan dengan kepatutan, kebiasaan, kesusilaan dan ketertiban umum.

5. Harus dilaksanakan dengan iktikad baik.


Asas kebebasan berkontrak dibatasi dengan syarat-syarat sah berkontrak dan doktrin-doktrin hukum yang terus berkembang. Bahwa prinsipnya, suatu perjanjian perdata merupakan suatu perikatan dua pihak atau lebih atas kesepakatan terhadap satu hal tertentu. Sama halnya dengan perjanjian kerja dalam konteks hukum ketenagakerjaan antara pekerja dan pemberi kerja haruslah
memenuhi syarat-syarat sah perjanjian. Selanjutnya untuk membuat suatu perjanjian maka harus memenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian. Syarat-syarat sahnya suatu perjanjian tersebut diatur dalam Pasal 1320 KUH-Perdata mengatur bahwa untuk sahnya perjanjian , diperlukan empat syarat:

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;

2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan ;

3. Suatu hal tertentu; dan

4. Suatu sebab yang halal.

Sehingga tidak boleh Asas kebebasan berkontrak diberlakukan secara absolut berakibat merugikan salah satu pihak yang berkontrak karena adanya ketimpangan relasi kuasa. Dalam perkara ini, terdapat poin perjanjian yang menyimpangi ketentuan UU ketenagakerjaan dan UU Cipta kerja yang membuat pihak pengusaha menghilangkan kewajibannya untuk membayar kompensasi, mengganti kerugian dan dapat melakukan pengakhiran hubungan kerja secara sepihak.

Bahwa Kebebasan untuk menerima atau menyimpangi ketentuan undang-undang hanya dapat dilakukan dalam hal ketentuan atau pengaturan dalam undang-undang bersifat opsional. Sehingga ketentuan yang bersifat larangan atau kewajiban dalam undang-undang tidak boleh disimpangi. Sementara ketentuan mengenai kompensasi berakhirnya PKWT dan ganti rugi pengakhiran perjanjian dalam jangka waktu perjanjian kerja adalah bersifat larangan atau kewajiban dalam peraturan perundang-undangan. 

Lalu bagaimana jika pengusaha dan pekerja memperjanjikan adanya kondisi pengusaha dibebaskan dari kewajiban yang diperintahkan undang-undang?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun