Mohon tunggu...
Musri Nauli
Musri Nauli Mohon Tunggu... Administrasi - Media Ekspresi untuk melihat problema hukum, gejala-gejala sosial dan alam kosmologi Rakyat Indonesia

Saya mencatat peristiwa disekitar saya yang sering diperlakukan tidak adil. Dari kegelisahan saya, saya bisa bersuara. Saya yakin, apa yang bisa saya sampaikan, akan bermakna suatu hari nanti.\r\nLihat kegelisahan saya www.musri-nauli.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Pertanggungjawaban Pidana Vaksin Palsu

18 Juli 2016   00:47 Diperbarui: 18 Juli 2016   01:20 500
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jagat belantara dunia kesehatan memasuki dunia kelam. Beredarnya “vaksin palsu” memantik keresahan public yang telah “mempercayakan” kesehatan di badan-badan kesehatan. Orang tua yang telah mempercayakan kepada lembaga-lembaga kesehatan untuk “memvaksinkan” anaknya kemudian resah dan khawatir terhadap kekebalan yang akan diderita anaknya.

Saya sengaja menggunakan istilah “vaksin palsu” sebagai terjemahan “vaksin” yang tidak memenuhi standar kesehatan. Didalam pasal 196 UU Kesehatan disebutkan sebagai “persediaan farmasi/alat kesehatan yang tidak memenuhi standar, khasiat/kemanfaatan dan mutu”.

Dalam lapangan hukum, maka persoalan mulai timbul. Siapa yang harus dimintakan pertanggungjawaban ?

Sebelum membicarakan mekanisme meminta pertanggungjawaban di lapangan hukum pidana, saya akan mencoba melihat dari sudut pandang tindak pidana kesehatan, tindak pidana umum dan mekanisme pertanggungjawaban. Dari ranah ini, maka kita bisa meminta pertanggungjawaban dan dapat dilihat bagaimana peran dari masing-masing actor (dader) dalam hukum pidana.

Untuk menentukan bagaimana peran dan tanggungjawab pidana masing-masing pelaku (dader), maka kita harus bisa memetakan bagaimana pola rangkaian terjadinya tindak pidana.

Dari ranah inilah, maka kita bisa menjangkau tanggungjawab hukum baik dilihat dari kesengajaan (dolus) maupun “kelalaian (culva)” dari masing-masing rangkaian.

Melihat pola yang terjadi di berbagai tempat dan dan berbagai daerah, maka bisa disimpulkan, rangkaian “pemainnya” cukup canggih dan terpola merata.

Sebelum menentukan pertanggungjawaban pidana, maka secara hukum haruslah dibuktikan apakah “Vaksin palsu” ternyata tidak sesuai dengan ketentuan kesehatan. Sehingga persediaan farmasi memang yang tidak memenuhi standar, khasiat/kemanfaatan dan mutu” bisa dibuktikan secara ilmiah.

Hasil analisis dari segi kesehatan haruslah membuktikan sebelum melihat pertanggungjawaban.

Dari hasil analisis kesehatan, maka terhadap “pengguna” seperti RS maupun bidan/klinik ditentukan. Apakah karena membeli dengan harga yang dibawah standar ataupun menerima “Sesuatu” seperti bonus terhadap pemasaran vaksin palsu sehingga terhadap pelaku kemudian dapat dikualifikasikan sebagai “pelaku”.

Dalam berbagai pemberitaan, daerah-daerah yang sudah “diindikasikan” menerima vaksin palsu Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Melihat polanya yang sudah lama, maka secara politik, dapat diminta pertanggungjawaban kepada lembaga kesehatan di Indonesia. Menteri Kesehatan dapat diminta pertanggungjawaban mengapa persoalan “begitu penting” menjadi teledor dan luput dari pengawasan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun