Jagat belantara dunia kesehatan memasuki dunia kelam. Beredarnya “vaksin palsu” memantik keresahan public yang telah “mempercayakan” kesehatan di badan-badan kesehatan. Orang tua yang telah mempercayakan kepada lembaga-lembaga kesehatan untuk “memvaksinkan” anaknya kemudian resah dan khawatir terhadap kekebalan yang akan diderita anaknya.
Saya sengaja menggunakan istilah “vaksin palsu” sebagai terjemahan “vaksin” yang tidak memenuhi standar kesehatan. Didalam pasal 196 UU Kesehatan disebutkan sebagai “persediaan farmasi/alat kesehatan yang tidak memenuhi standar, khasiat/kemanfaatan dan mutu”.
Dalam lapangan hukum, maka persoalan mulai timbul. Siapa yang harus dimintakan pertanggungjawaban ?
Sebelum membicarakan mekanisme meminta pertanggungjawaban di lapangan hukum pidana, saya akan mencoba melihat dari sudut pandang tindak pidana kesehatan, tindak pidana umum dan mekanisme pertanggungjawaban. Dari ranah ini, maka kita bisa meminta pertanggungjawaban dan dapat dilihat bagaimana peran dari masing-masing actor (dader) dalam hukum pidana.
Untuk menentukan bagaimana peran dan tanggungjawab pidana masing-masing pelaku (dader), maka kita harus bisa memetakan bagaimana pola rangkaian terjadinya tindak pidana.
Dari ranah inilah, maka kita bisa menjangkau tanggungjawab hukum baik dilihat dari kesengajaan (dolus) maupun “kelalaian (culva)” dari masing-masing rangkaian.
Melihat pola yang terjadi di berbagai tempat dan dan berbagai daerah, maka bisa disimpulkan, rangkaian “pemainnya” cukup canggih dan terpola merata.
Sebelum menentukan pertanggungjawaban pidana, maka secara hukum haruslah dibuktikan apakah “Vaksin palsu” ternyata tidak sesuai dengan ketentuan kesehatan. Sehingga persediaan farmasi memang yang tidak memenuhi standar, khasiat/kemanfaatan dan mutu” bisa dibuktikan secara ilmiah.
Hasil analisis dari segi kesehatan haruslah membuktikan sebelum melihat pertanggungjawaban.
Dari hasil analisis kesehatan, maka terhadap “pengguna” seperti RS maupun bidan/klinik ditentukan. Apakah karena membeli dengan harga yang dibawah standar ataupun menerima “Sesuatu” seperti bonus terhadap pemasaran vaksin palsu sehingga terhadap pelaku kemudian dapat dikualifikasikan sebagai “pelaku”.
Dalam berbagai pemberitaan, daerah-daerah yang sudah “diindikasikan” menerima vaksin palsu Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Melihat polanya yang sudah lama, maka secara politik, dapat diminta pertanggungjawaban kepada lembaga kesehatan di Indonesia. Menteri Kesehatan dapat diminta pertanggungjawaban mengapa persoalan “begitu penting” menjadi teledor dan luput dari pengawasan.