Mohon tunggu...
Musri Nauli
Musri Nauli Mohon Tunggu... Administrasi - Media Ekspresi untuk melihat problema hukum, gejala-gejala sosial dan alam kosmologi Rakyat Indonesia

Saya mencatat peristiwa disekitar saya yang sering diperlakukan tidak adil. Dari kegelisahan saya, saya bisa bersuara. Saya yakin, apa yang bisa saya sampaikan, akan bermakna suatu hari nanti.\r\nLihat kegelisahan saya www.musri-nauli.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Seloko Adat dalam Putusan MK

13 Februari 2014   22:42 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:51 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apakah MK kemudian menganggap Perpu No. 1 Tahun 2013 merupakan “bentuk kurang ajar” dari pihak eksekutif sehingga Perpu No. 1 Tahun 2013 kemudian dipandang sebagai “ke atas tak berpucuk. Ke bawah tak berakar, Di tengah di gerek kumbang” ?

Memberikan perumpamaan Perpu No. 1 Tahun 2013 dengan ke atas tak berpucuk. Ke bawah tak berakar, Di tengah di gerek kumbang” adalah bentuk dahsyat dari MK. MK kemudian dapat dilihat sebagai bentuk “kemarahan” yang luar biasa.

Namun dalam pertimbangan MK mengibaratkan Perpu No. 1 Tahun 2013 kurang tepat apabila disepadankan dengan “ke atas tak berpucuk. Ke bawah tak berakar, Di tengah di gerek kumbang”.

Apakah MK mengetahui makna “tersurat” dari seloko ke atas tak berpucuk. Ke bawah tak berakar, Di tengah di gerek kumbang ?

Apakah MK telah menjatuhkan putusan sebelumnya, namun pihak Eksekutif masih juga menerbitkan peraturan yang telah dibatalkan ?

Namun apabila dilihat dari “perintah konstitusi” kepada Pemerintah agar 20 % APBN kemudian dialokasikan untuk pendidikan, namun pemerintah belum juga bisa melaksanakan, sehingga APBN yang berkaitan dengan pendidikan “sering digugat” di MK, barulah APBN yang berkaitan dengan pendidikan dapat disebutkan sebagai ke atas tak berpucuk. Ke bawah tak berakar, Di tengah di gerek kumbang.

Atau pasal penyebar kebencian (haatzakai artikelen) telah dicabut oleh MK namun kemudian tetap dimasukkan dalam RUU KUHP, barulah pasal-pasal penyebar kebencian (haatzakai artikelen) disebutkan sebagai ke atas tak berpucuk. Ke bawah tak berakar, Di tengah di gerek kumbang.

Namun dengan makna yang lebih ketat, seharusnya MK harusnya memberikan pandangan terhadap agar 20 % APBN kemudian dialokasikan untuk pendidikan atau pasal-pasal penyebar kebencian (haatzakai artikelen) telah dicabut oleh MK namun kemudian tetap dimasukkan dalam RUU KUHP dengan pepatah adat ke atas tak berpucuk. Ke bawah tak berakar, Di tengah di gerek kumbang.

Dengan melihat makna “harfiah” dari kata-kata pepatah adat ke atas tak berpucuk. Ke bawah tak berakar, Di tengah di gerek kumbang, walaupun tidak tepat, penulis bisa memahami “kemarahan” MK terhadap Perpu No. 1 Tahun 2013.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun