Apakah MK kemudian menganggap Perpu No. 1 Tahun 2013 merupakan “bentuk kurang ajar” dari pihak eksekutif sehingga Perpu No. 1 Tahun 2013 kemudian dipandang sebagai “ke atas tak berpucuk. Ke bawah tak berakar, Di tengah di gerek kumbang” ?
Memberikan perumpamaan Perpu No. 1 Tahun 2013 dengan ke atas tak berpucuk. Ke bawah tak berakar, Di tengah di gerek kumbang” adalah bentuk dahsyat dari MK. MK kemudian dapat dilihat sebagai bentuk “kemarahan” yang luar biasa.
Namun dalam pertimbangan MK mengibaratkan Perpu No. 1 Tahun 2013 kurang tepat apabila disepadankan dengan “ke atas tak berpucuk. Ke bawah tak berakar, Di tengah di gerek kumbang”.
Apakah MK mengetahui makna “tersurat” dari seloko ke atas tak berpucuk. Ke bawah tak berakar, Di tengah di gerek kumbang ?
Apakah MK telah menjatuhkan putusan sebelumnya, namun pihak Eksekutif masih juga menerbitkan peraturan yang telah dibatalkan ?
Namun apabila dilihat dari “perintah konstitusi” kepada Pemerintah agar 20 % APBN kemudian dialokasikan untuk pendidikan, namun pemerintah belum juga bisa melaksanakan, sehingga APBN yang berkaitan dengan pendidikan “sering digugat” di MK, barulah APBN yang berkaitan dengan pendidikan dapat disebutkan sebagai ke atas tak berpucuk. Ke bawah tak berakar, Di tengah di gerek kumbang.
Atau pasal penyebar kebencian (haatzakai artikelen) telah dicabut oleh MK namun kemudian tetap dimasukkan dalam RUU KUHP, barulah pasal-pasal penyebar kebencian (haatzakai artikelen) disebutkan sebagai ke atas tak berpucuk. Ke bawah tak berakar, Di tengah di gerek kumbang.
Namun dengan makna yang lebih ketat, seharusnya MK harusnya memberikan pandangan terhadap agar 20 % APBN kemudian dialokasikan untuk pendidikan atau pasal-pasal penyebar kebencian (haatzakai artikelen) telah dicabut oleh MK namun kemudian tetap dimasukkan dalam RUU KUHP dengan pepatah adat ke atas tak berpucuk. Ke bawah tak berakar, Di tengah di gerek kumbang.
Dengan melihat makna “harfiah” dari kata-kata pepatah adat ke atas tak berpucuk. Ke bawah tak berakar, Di tengah di gerek kumbang, walaupun tidak tepat, penulis bisa memahami “kemarahan” MK terhadap Perpu No. 1 Tahun 2013.