Mohon tunggu...
Musri Nauli
Musri Nauli Mohon Tunggu... Administrasi - Media Ekspresi untuk melihat problema hukum, gejala-gejala sosial dan alam kosmologi Rakyat Indonesia

Saya mencatat peristiwa disekitar saya yang sering diperlakukan tidak adil. Dari kegelisahan saya, saya bisa bersuara. Saya yakin, apa yang bisa saya sampaikan, akan bermakna suatu hari nanti.\r\nLihat kegelisahan saya www.musri-nauli.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Seloko Adat dalam Putusan MK

13 Februari 2014   22:42 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:51 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selama ini, setiap putusan MK yang memerintahkan untuk mencabut pasal-pasal tertentu ataupun mencabut UU tertentu, tidak ada perintah untuk kembali ke UU sebelumya.

Peristiwa ini sekali lagi menegaskan “putusan MK” telah melebihi kewenangan MK didalam memeriksa dan mengadili perkaranya sesuai dengan UU MK.

Kelima. Putusan MK kemudian juga bersandarkan pepatah adat “ke atas tak berpucuk. Ke bawah tak berakar, Di tengah di gerek kumbang”.

Pertimbangan ini menarik penulis untuk mencari benang merah melihat pandangan MK mengenai Perpu No. 1 tahun 2013.

Didalam seloko adat, istilah “ke atas tak berpucuk. Ke bawah tak berakar, Di tengah di gerek kumbang” cukup serius.

Pandangan MK mengenai Perpu No. 1 Tahun 2013 dengan memberikan perumpamaan dengan seloko adat ke atas tak berpucuk. Ke bawah tak berakar, Di tengah di gerek kumbang”, memang terasa menyakitkan.

Dalam istilah lain, seloko ini biasa juga dikenal dengan istilah “Bapak pado harimau. Berinduk pada gajah. Berkambing pada kijang. Berayam pada kuawo.

Menggunakan istilah itu apabila hukuman adat telah dijatuhkan, namun yang bersangkutan tidak mau melaksanakan putusan hukum adat. Sebagian juga memberikan hukuman plali (di sebagian masyarakat Luak XVI di Bangko). Sedangkan di sekitar Taman Nasional Bukit Tigapuluh, mereka menyebutkan “orang buangan”.

Bapak pado harimau. Berinduk pada gajah. Berkambing pada kijang. Berayam pada kuawo adalah gambaran orang yang tidak perlu diurus lagi dalam pergaulan sosial di suatu kaum. Mereka kemudian tidak perlu diurus termasuk ada acara selamatan di kampung, sakit tidak tengok, mati tidak dikuburkan.

Begitu beratnya hukum plali sehingga Berinduk pada gajah. Berkambing pada kijang. Berayam pada kuawo, menggambarkan orang yang tidak mempunyai keluarga lagi, tidak mempunyai indung semang, tidak mempunyai ninik mamak.

Dengan pesan yang tegas, MK memberikan perumpamaan dengan seloko itu menggambarkan, Perpu No. 1 Tahun 2013 adalah “ke atas tak berpucuk. Ke bawah tak berakar, Di tengah di gerek kumbang”.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun