Dalam hiruk pikuk pilpres 2014, kita kemudian disodori berbagai logika untuk meyakinkan kandidate tertentu dan disodori logika untuk menolak kandidate tertentu.
Sebelum meyakinkan pilihan seseorang kandidate, logika yang hendak dibangun tentu saja berangkat dari “common sense” yang mudah diperdebatkan. Tidak memerlukan tafsiran yang rumit untuk menerima atau menolak logika yang hendak disodorkan.
Namun akhir-akhir ini ketika logika yang dibangun tidak berhasil dipatahkan, si lawan cenderung menggunakan berbagai alasan untuk “mengacaukan” logika sehat yang sudah tersusun (mistake). Dalam berbagai literatur logika yang kemudian dibantah tanpa argumentasi yang bisa dipertanggungjawabkan merupakan kesesatan.
Sekedar untuk mencatat, penulis berhasil memetakan berbagai “Kesesatan” hendak disusun untuk mematahkan logika yang telah disampaikan.
Argumentum ad hominen
Argumentasi yang disusun ditangkis dengan menyodorkan logika yang bertentangan.
Kita masih ingat dengan argumentasi Salah satu kandidate Presiden yang dituduh sebagai pelanggar HAM (ingat kasus penculikan). Namun bukannya “mengklarififkasi” tuduhan, namun argumentasi kemudian disusun, sang jenderal pihak seberang juga melanggar HAM. Aneh bukan ?
Persoalan substansi “apakah tuduhan “serius” pelanggar HAM itu benar atau tidak ?”. Kok melebar menuduh pihak lawan juga melanggar HAM.
Menggunakan logika yang telah disusun, maka tuduhan itu benar. Sedangkan apabila adanya jenderal pihak seberang yang dianggap sebagai tertuduh melanggar HAM, maka dalam kaidah pembuktian HAM ya, juga kita minta pertanggungjawabkan. Clear khan.
Argumentum ad Loculun
Argumentasi ini sering dipakai untuk menggertak lawan. Misalnya. Sang calon presiden merupakan jaringan komunisme di Indonesia. Dan sang pemberi argumentasi berikrar akan menjaga Indonesia dari ancaman komunisme. Lengkap dengan “segenap tumpah darah”.
Saya terus menerus tertawa ngakak sambil tidak habis mengerti dan geleng kepala.
Di otak sang pengancam sudah tidak rasional lagi.
Dunia sudah berubah. Tidak ada lagi komunisme yang bisa kita perdebatkan lagi. China sudah menjadi pasar terbuka, Sovyet sudah terbuka, Kuba sudah ekspor dan menjadi negara kapitalis kecil.
Apakah bacaan komunisme itu cuma sekedar melihat tontotan G 30 S/PKI atau cuma diajarkan di berbagai literatur sempit. Komunisme cuma jadi mimpi di otak kaum peninggalan orde baru.
Dunia sudah terbuka. Komunisme sudah gagal dan ketinggalan dari issu global.
Issu ini sengaja dikemas agar “status quo” diperlukan di alam pemikiran yang terus menerus dikembangkan.
Argumentum ad ignorantica.
Argumentasi ini dibangun karena “ketidaktahuan” dari lawan argumentasi. Selain itu juga bertujuan untuk melindungi argumentasi yang telah disampaikan
Masih ingat ketika tuduhan serius terhadap penggunaan atribut yang dikenakan yang dikaitkan dengna kejahatan kemanusiaan terbesar abad XXI dalam perang dunia kedua.
Semula masih perdebatan yang sepele. Sang Artis malah menuduh para aktris sebagai iri dengna kemapanan. Namun pelan dengna pasti, malah dikatakan sebagai fashion dan dianggap sebagai ide orisinal.
Penulis semula masih menganggap bahwa argumentasi yang dikeluarkan semata-mata “karena tidak mengetahui” atau memang “ahistoris”. Namun ketika desakan terus menerus di berbagai kalangan, eh, argumentasi yang disampaikan malah berpotensi “melindungi' kejahatan sesungguhnya.
Tujuan menggunakan berbagai “kesesatan” selain menguji logika yang telah disusun, sekaligus juga strategi untuk mematahkan logika yang tidak bisa dibantah. Dengan kesesatan ini, maka pihak lawan kemudian berhasil menggiring dan tidak menerima logika yang telah disampaikan.
Menangkis logika yang telah menjadi pengetahuan orang banyak justru akan berdampak. Informasi yang sudah pasti dan kebenaran yang telah diketahui tidak perlu diperdebatkan.
Persoalan kejahatan masa perang dunia kedua, tidak boleh dianggap remeh. Mengalihkan ataupun mencoba mencari kesalahan dan mengaitkan dengan logika yang bertentangna justru akan terlindas dengan putaran itu sendiri.
Kesesatan ini akan mudah ditandai dari kepentingan jangka pendeka (vested interested).
Tinggal kita dengan jernih melihat bagaimana “logika” yang telah disusun kemudian ditangkis dengan “kesesatan”. Cara ini justru menjadi kita bisa mengukur sang lawan debat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H