Mohon tunggu...
Musrafiyan
Musrafiyan Mohon Tunggu... "FOUNDER LITERATUR ACEH (L.A)" -

"LITERASI" Objek Inspirasi Tanpa Henti, Agar Tak Diam Yang Disangka Apatis, Menghindar Dari Kebisuan Yang Disangka Tak Idealis.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Pola Sederhana Penegakkan Syari'at Islam di Aceh

27 Desember 2018   22:01 Diperbarui: 27 Desember 2018   22:46 490
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Berangkat dari sebuah histori akan konsep keAcehan telah lahir perilaku-perilaku yang menggambarkan bahwa penegakkan Syariat Islam di Aceh telah dijalankan jauh beberapa puluh tahun lalu. Sebagaimana bukti yang tercatat dalam sejarah disaat Teungku Chik Haji Muhammad Pante Kulu membuat sebuah karya Hikayat Prang Sabi yang dimana di dalam karyanya beliau mengilustrasikan ruh-ruh jiwa para pejuang Aceh pada masa itu yang mengharapkan pahala syahid dari rabbi dalam berperang melawan musuh. Adapun tokoh lain yaitu Syeikh Hamzah Fansuri juga telah menyampaikan syiar keimanan dalam bentuk syair pada masa itu dengan Tamsil Anak Dagang, Perahu maupun laut.

Namun keadaan seakan berbalik disaat kita menelisik lebih jauh akan konsep penegakkan Syariat Islam dalam perspektif kemodernisasian saat ini. Terbukti secara nyata bahwa tercatat masih banyak remaja yang merasa enggan mengikuti pola hidup yang Islami, dan dampaknya pun terlihat secara jelas disaat bumi Serambi Mekah ini masih kekurangan formula akan penyambung tongkat estafet dalam penegakkan Syariat Islam, khususnya dalam bentuk penerapannya. 

Berdasarkan beberapa konsep yang tertera diatas seakan terbesit sebuah pertanyaan dalam ingatan saya, Bagaimana cara kita selaku pelakon dalam dunia pendidikan untuk dapat bergerak menjadi masyarakat yang sadar dalam membantu pemerintah untuk kembali membumikan syiar pola hidup Islami secara Global terhadap generasi khususnya di bumi serambi mekah?

Berbicara mengenai keDinul-Islaman, maka Dinul Islam itu sendiri merupakan Agama yang diturunkan Allah Subhanahu Wa Ta'ala, dianut dan didakwahkan oleh para utusan Allah Subhanahu Wa Ta'ala dari kalangan nabi dan rasul. Dan  Agama Islam adalah satu-satunya Agama hak dan satu-satunya Agama yang diridhai serta diterima Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa makna dari kebijakan dalam perspektif Dinul Islam pada umumnya adalah bagaimana cara mewujudkan kebijakan-kebijakan dalam konteks ajaran Islam di Aceh yang menjadi simbol dari bumi Serambi Mekah itu untuk mengimplementasikan Syariat Islam dalam bingkai Dinul Islam didalamnya.

Politik Berbasis Etika Keumatan

Ketika kita berbicara mengenai Politik, maka ada suatu prinsip yang wajib dimiliki oleh setiap pelaku di dalamnya, yaitu prinsip berlaku adil. Dimana sebab itu merupakan dasar dari setiap apa yang telah ditetapkan oleh Allah Subhanahu Wa Ta'ala yang maha bijaksana dan mempunyai prinsip-prinsip menyeluruh serta kaidah-kaidah umum dalam syariatnya. 

Hal itu adalah sistem Allah Subhanahu Wa Ta'ala dan syariatnya, dan atas dasarnya manusia akan beruntung baik dunia maupun akhirat. Ibnu Taimiyah juga pernah berkata: "Jujur dalam setiap berita dan berlaku adil dalam perkataan dan perbuatan , cocok di setiap keadaan. Jujur dan adil ini selalu berdampingan".

Pada dasar yang terjadi sebenarnya bahwa Politik itu merupakan sarana artikulasi kepentingan, artinya bahwa didalamnya terdapat banyak perbedaan pendapat, rivalitas serta konflik yang sangat tinggi bahkan berkelanjutan. Namun Politik itu bukanlah hal yang kotor, karena sejatinya Politik dibuat untuk menjadi sarana bagi proses rekruitmen Politik yang sangat penting di dalam proses demokrasi.

 Itulah yang sebenarnya harus diterapakn di Aceh, Karena sebagai bumi Serambi Mekah yang memiliki PerDa Syariah didalamnya, maka pentinglah untuk kita agar dapat memaknai akan makna Politik sesungguhnya. Jika kemudian Politik menjadi kotor, maka manusialah yang mengisi ruang kosong Politik itu dengan kecurangan, ketidakadilan, kebohongan, kebusukan dan sebagainya.

Etika yang terkait dengan keumatan pada hakikatnya ialah kebaikan dan keburukan. Karena Etika menjadi penjelas bagi kita semua bahwa ada perbuatan yan digolongkan baik dan ada yang buruk. Dengan demikian, maka etika Politik juga menjelaskan tentang mana Politik yang baik dan mana yang buruk. Nah kewajiban kita sebagai orang yang memiliki religiusitas adalah mengikuti Politik yang baik dan menjauhi Politik yang buruk.

Dari Firman ke Gerakan

Dalam tatanan teknis, umat Islam dihadapkan pada problem teknis terkait dengan formulasi dan artikulasi hukum-hukum modern. Banyak di kalangan umat Islam percaya bahwa warisan hukum yang mereka miliki sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan, baik di segala ruang maupun waktu. Mereka cenderung ingin menerapkan apa yang diwariskan generasi masa lalu tanpa bisa membedakan antara ilmu hukum dan hukum itu sendiri sebagai produk. 

Itulah mengapa sangat ditekankan kepada pemerintah sebagai pemegang jabatan atas pemerintahan di Aceh agar dapat menelisik kembali dampak yang akan timbul apabila baik masyarakat maupun pemerintah itu sendiri menerapkan pola hidup yang rujukannya cenderung melihat generasi masa lalu tanpa melihat kembali pedoman hidup sebenarnya yaitu Al-Qur'an yang merupakan sumber hukum utama.

Disaat kita memahami makna Al-Qur'an sebagai sumber utama dalam hukum Islam, maka akan terasa sedikit aneh dimana kitab yang seharusnya menjadi rujukan umat Islam seakan tertimbun begitu saja ketika ada hal lain yang dijadikan pedoman. Karena kita sebagai generasi sekarang ini seakan lebih menyukai pemikiran yang praktis yang tanpa disertai teori atas data dan fakta yang sebenarnya terjadi.

Menelisik kembali akan maksud dari kalimat Firman ke Gerakan, yang menjadi poin penting disini ialah bahwasanya kita sebagai umat Islam yang bercita-cita mewujudkan kembali Aceh  dalam bingkai Dinul Islam maka harus dapat berusaha untuk dapat kembali menyadarkan kaum mayoritas yang seakan terpaku pada kalimat "kita harus mengikuti generasi masa lalu" kepada sumber utama hukum Islam yaitu Al-Qur'an yang tidak lain ialah kitab yang diturunkan dari Allah Subhanahu Wa Ta'ala melalui malaikat Jibril Kepada Rasulullah Sallallahu 'alaihi wassallam. Bahkan pemerintah juga harus ikut andil untuk menjalankan perintah ini, dimana dalam menjalankan jabatan, membuat program atau melaksanakan gerakan penyelesaian suatu perkara haruslah merujuk kembali kepada Al-Qur'anul Karim.

Membangun Generasi Qurani

Masih terfokus kepada satu pembahasan yaitu mengenai Al-Qur'an, maka dalam mewujudkan cita-cita untuk membentuk Aceh dalam bingkai Dinul Islam diperlukan satu program dari pemimpin yang disepakati sesama pemerintah yaitu bagaimana untuk dapat melakukan suatu tindakan serius dalam membangun Generasi Qur'ani. Karena sebenarnya jatuh bangunnya ummat Islam tergantung dari pada jauh dekatnya ummat dengan kitab sucinya. Bila ummat Islam benar-benar menjadikan Qur'an sebagai pedoman hidupnya niscaya ummat akan maju, cerdas, jaya dan sejahtera. Karena Al-Qur'an akan menuntunnya untuk selamat dan sukses didunia dan diakhirat.

Disaat mereka jauh dari Al-Qur'an sebagai pedoman hidup, disini pulalah letak kelemahan dan kemunduran Ummat Islam. Orang-orang kafir yang senantiasa benci dengan ajaran Islam, senantiasa mencari jalan untuk melemahkan serta mengalahkan ummat Islam. Dan jalan yang mereka tempuh adalah menjauhkan ummat Islam dari Al-Qur'annya. Sebab Al-Qur'an adalah pedoman hidup nya, kapan ummat Islam jauh dari pedoman hidupnya maka akan mudah untuk dikalahkan. Dampak tersebutlah yang seakan tidak kita sadari bahkan mempersulit tujuan untuk mewujudkan Aceh dalam bingkai Dinul Islam.

Implementasi Syariat Islam di Aceh

Sebenarnya Perdebatan soal pemberlakuan Syariat Islam sampai saat ini masih menyisakan Pro dan Kontra, terutama di Negara-negara yang secara resmi bukan sebagai Negara Islam. Namun hal tersebut bukanlah alasan untuk kita ikut memperdebatkannya, karena sebenarnya sah-sah saja dikala pemberlakuan Syariat Islam dipandang buruk bahkan ditolak terang-terangan di Negara yang secara resmi bukan Negara Islam, karena penganutnya juga sangat Minoritas disana. 

Tetapi permasalahan yang patut menjadi objek pembahasan kita sebenarnya adalah disaat Indonesia yang merupakan Negara dengan penduduk Muslim terbanyak di dunia masih memperdebatkan makna Islam itu sendiri, bahkan ada oknum yang menyebutkan bahwa saat ini sudah banyak lahir cabang dari Agama Islam, seperti Islam Liberal, Islam Moderat, Islam Sekuler dll.

Namun jika kita membahas lebih khusus dalam konteks regional mengenai pemberlakuan Syariat Islam di Aceh, maka tidak dapat dipungkiri bahwa Aceh merupakan provinsi yang dimana penerapat Syariat islamnya cukup melekat. Dibuktikan dengan adanya perundang-undangan dalam perspektif Syariah, yaitu PerDa Syariah.

Seiring dengan berjalannya waktu, ada satu hal yang menjadi tugas kita sekarang, yaitu bagaimana cara kita baik masyarakat maupun pemerintah Aceh untuk dapat menjaga, mempertahankan secara utuh serta memperkuat PerDa Syariah yang telah disepakati. Karena bagaimanapun timbulnya konflik akan PerDa Syariah lahir dari mulut oknum-oknum yang tidak setuju akan diberlakukannya PerDa Syariah. Maka kita harus paham bahwa Polemik tentang PerDa Bernuansa Syariat Islam selama ini lebih banyak berkutat pada debat analisis materi PerDa. 

Bagi yang Pro, teks PerDa yang demikian diyakini sejalan dengan kebutuhan regulasi lokal dan kehendak masyarakat setempat. Bagi yang Kontra, isi PerDa macam itu dicemaskan melanggar hak-hak dasar warga, memperkeruh toleransi antar-Agama, bahkan lebih jauh, mengancam keutuhan Bangsa maupun Negara. Maka sikap menjaga akan PerDa ini ialah langkah kecil dalam mewujudkan dan memaksimalkan provinsi Aceh dalam bingkai Dinul Islam.

Memaknai Perkembangan Islam di Aceh 

Dalam diskursus memaknai perkembangan Islam di Aceh saat ini, maka tidak berlebihan jika kita menyebutkan bahwa sesungguhnya suksesnya pemberlakuan Syariah islam merupakan gengsi bagi umat Islam di Aceh sendiri. Karena dampak kedepannya Aceh akan menjadi contoh bagi daerah-daerah lain dalam menerapkan Syariah Islam dalam mengulang kesuksesan Qanun Al-Asyi pada masa kesultanan Samudera Pasai. Karena memang, Syariah adalah produk ijtihad ulama yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang berkembang di masyarakat. Dan Mau tidak mau tugas ini harus didukung oleh semua stakeholders terutama pemerintah daerah Aceh baik untuk mempertahankan maupun misi untuk mengembangkan Syariah Islam di Aceh.

Bagaimanapun, adanya berbagai macam hal positif  diatas belum dapat menutupi adanya pandangan negatif dari pihak-pihak tertentu, masih ada banyak oknum yang beranggapan bahwa Penerapan Syariah Islam di Aceh belum menunjukan prospek yang cerah dalam menanggulangi segala permasalahan yang dirasakan oleh masyarakat Aceh secara luas, seperti penanggulangan korupsi dan peningkatan kesejahteraan. Tetapi baik buruknya pandangan tersebut, optimisme masih harus terus dipupuk demi mewujudkan cita-cita menciptakan Aceh dalam bingkai Dinul Islam

Dari berbagai persoalan yang tertulis diatas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam kita mewujudkan Aceh dalam bingkai Dinul Islam, yang menjadi tugas utama bukanlah menciptakan hal-hal baru dalam sistem pemerintahan, namun lebih kepada menjaga hal-hal kecil yang menjadi dasar lahirnya penerus-penerus yang berjiwa Islami. Sehingga dampak yang akan dirasakan kedepannya adalah akan mudah bagi Aceh untuk menerapkan, menjaga serta mengembangkan pola peraturan secara Syariah di bumi Serambi Mekah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun