Arman kini hidup sendirian, dihantui penyesalan yang tak berujung. Setiap malam, ia merindukan tawa anak-anaknya, kebersamaan di meja makan, dan senyuman lembut Rima yang dulu selalu menyambutnya di rumah. Namun, semua itu kini hanya menjadi kenangan pahit.
Suatu hari, Arman memutuskan untuk menemui Rima. Ia merasa perlu meminta maaf secara langsung dan berharap bisa memperbaiki hubungan, meski hanya sebagai teman.
Ketika ia tiba di rumah Rima, pemandangan yang ia lihat membuat hatinya teriris. Rima tampak begitu bahagia bersama Radit. Mereka sedang bermain di halaman rumah bersama ketiga anaknya. Tawa anak-anak menggema, sementara Radit dengan sabar menggendong si kecil yang terus memintanya berlari.
Arman berdiri di luar pagar, memandangi kebahagiaan yang dulu ia tinggalkan. Ia sadar, kesalahan yang ia buat telah menghapus semua peluang untuk kembali.
Radit, yang menyadari kehadiran Arman, menghampirinya dengan ramah. "Mas Arman, ada yang bisa saya bantu?" tanyanya sopan.
Arman tersenyum pahit. "Aku hanya ingin melihat mereka. Terima kasih sudah menjaga mereka dengan baik."
Radit mengangguk. "Mereka adalah keluarga saya sekarang, Mas. Saya akan selalu mencintai mereka seperti darah daging saya sendiri."
Kata-kata Radit seperti pisau tajam yang menusuk hati Arman. Ia menyadari betapa ia telah kehilangan sesuatu yang sangat berharga. Dengan langkah berat, ia pergi meninggalkan rumah itu, membawa beban penyesalan yang akan terus menghantuinya seumur hidup.
Di dalam rumah, Rima duduk bersama Radit setelah anak-anak tertidur. Ia memandang suaminya dengan senyuman penuh rasa syukur.
"Terima kasih sudah mencintai aku dan anak-anak, Mas. Aku tidak tahu apa jadinya kami kalau bukan kamu yang hadir di hidup kami," ucap Rima dengan mata berkaca-kaca.
Radit meraih tangan Rima dan menggenggamnya erat. "Kamu tidak perlu berterima kasih, Rima. Mencintai kamu dan anak-anak adalah kebahagiaan buatku. Kalian adalah anugerah terbesar dalam hidupku."