"Penghianatan suami"
Malam itu begitu sunyi, hanya suara jangkrik yang terdengar di antara hembusan angin malam. Rima duduk di teras rumah, matanya menatap kosong ke arah jalanan yang gelap. Hatinya gelisah, pikirannya dipenuhi bayangan buruk tentang Arman, suaminya, yang tak kunjung pulang.
"Ya Allah, lindungilah suamiku di mana pun dia berada," bisiknya, sambil meremas-remas ujung jilbabnya yang basah oleh keringat dingin.
Rima mencoba menghubungi Arman berkali-kali, tetapi teleponnya selalu masuk ke kotak suara. Ia bahkan menghubungi teman-teman kantor suaminya, namun tak ada satu pun yang tahu keberadaannya. Malam itu terasa begitu panjang, diisi oleh tangis dan doa yang terus ia panjatkan.
Keesokan paginya, Rima tetap menjalankan tugasnya sebagai seorang ibu. Meski tubuhnya lemas karena kurang tidur, ia tetap menyiapkan sarapan untuk kedua anaknya, Rian dan Ana.
"Ma, Papa kenapa belum pulang?" tanya Rian polos saat hendak berangkat sekolah.
Rima hanya tersenyum tipis, berusaha menyembunyikan kecemasannya. "Papa pasti segera pulang, sayang. Doakan saja Papa baik-baik saja."
Dua hari berlalu, dan ketukan pintu di sore hari itu membuat jantung Rima berdegup kencang.
"Assalamu'alaikum..." terdengar suara yang sangat familiar.
Rima segera membuka pintu dan menemukan Arman berdiri di depan rumah. Ia langsung menghambur ke pelukan suaminya, air matanya tumpah karena lega. Namun, kebahagiaan itu hanya sesaat. Di belakang Arman berdiri seorang wanita cantik dengan senyum canggung. Wanita itu tampak ragu, namun tangannya menggenggam erat tangan Arman.
Rima memandang wanita itu dengan penuh kecurigaan. "Abang, siapa dia?" tanyanya, suaranya bergetar.
Arman menghela napas panjang, lalu menggenggam tangan Rima. "Rima, kenalkan. Dia Siska... istri abang juga. Kami menikah dua hari yang lalu."
Kata-kata itu membuat dunia Rima terasa runtuh. Ia terhuyung mundur, menatap suaminya dengan air mata yang mengalir deras.
"Tidak mungkin! Abang bohong, kan? Kenapa abang tega melakukan ini?!" teriaknya histeris.
Arman mencoba menjelaskan, tetapi Rima sudah tidak mendengar apa-apa lagi. Ia merasakan seluruh tubuhnya bergetar, seolah jiwanya hancur berkeping-keping. Dengan suara yang lirih namun penuh luka, ia berkata, "Pergi kalian berdua! Aku tidak akan pernah mau dimadu. Lebih baik aku hidup sendiri bersama anak-anakku daripada harus menerima ini!"
Tiga bulan setelah perceraian itu, Rima berjuang untuk bangkit. Ia bekerja di sebuah bank swasta untuk menghidupi kedua anaknya. Setiap hari terasa melelahkan, tetapi ia menemukan kekuatan dalam senyum anak-anaknya.
Meski begitu, luka di hatinya masih menganga. Setiap malam, ia sering menangis dalam diam, merindukan cinta yang dulu ia kira akan abadi.
Di tempat kerjanya, Rima bertemu dengan Radit, seorang pelanggan tetap yang sering datang ke bank. Radit, seorang duda dengan satu anak, mulai menunjukkan perhatian lebih pada Rima. Ia sering mengajak Rima berbicara, mendengarkan keluh kesahnya, dan memberikan motivasi.
"Rima, aku tahu hidup ini tidak adil kadang-kadang. Tapi aku percaya, kamu adalah wanita yang kuat. Kamu layak bahagia," ujar Radit suatu hari.
Kata-kata itu menjadi penghiburan bagi Rima. Perlahan-lahan, ia mulai membuka hatinya, meski masih dipenuhi keraguan.
Di sisi lain, kehidupan rumah tangga Arman dan Siska tidak berjalan mulus. Siska, yang awalnya terlihat bahagia, mulai merasa kesepian karena Arman sering termenung dan melamun. Ia tahu bahwa hati suaminya masih tertinggal pada Rima.
"Bang, apa kamu masih mencintai Rima?" tanya Siska suatu malam.
Arman terdiam. Ia tidak bisa membohongi dirinya sendiri. Rima adalah cinta sejatinya, dan keputusan untuk menikahi Siska adalah kesalahan besar yang kini ia sesali.
"Maafkan aku, Siska. Aku tidak pernah ingin menyakitimu, tapi... aku tidak bisa melupakan Rima," jawab Arman dengan suara lirih.
Siska merasa terluka, namun ia tahu bahwa ia tidak bisa memaksa cinta. Dengan berat hati, ia meminta Arman untuk kembali kepada Rima dan anak-anaknya.
Arman mendatangi rumah Rima dengan penuh penyesalan. Ia membawa bunga dan surat permohonan maaf. Namun, saat bertemu dengan Rima, ia sadar bahwa wanita itu telah berubah. Rima bukan lagi wanita rapuh yang bergantung padanya.
"Rima, aku ingin memperbaiki semuanya. Aku ingin kita kembali bersama," kata Arman dengan mata berkaca-kaca.
Rima menatap Arman dengan tatapan tenang. "Abang, aku sudah memaafkanmu. Tapi cinta itu seperti kaca. Sekali pecah, sulit untuk kembali seperti semula. Abang sudah memilih jalan abang, dan aku juga sudah memilih jalanku. Mari kita jalani hidup masing-masing dengan damai, demi anak-anak."
Kata-kata Rima terasa seperti pukulan telak bagi Arman. Ia menyadari bahwa ia telah kehilangan wanita terbaik dalam hidupnya.
Waktu terus berlalu, dan Rima semakin menemukan kebahagiaannya. Ia semakin dekat dengan Radit, yang selalu memberinya dukungan dan kebahagiaan. Meski luka di masa lalunya tidak sepenuhnya hilang, ia percaya bahwa Tuhan telah merencanakan sesuatu yang indah untuknya.
Kini, Rima menjalani hidupnya dengan penuh syukur, membesarkan anak-anaknya dengan cinta, dan tetap melangkah maju tanpa menoleh ke masa lalu.Tiga tahun berlalu sejak perceraian Rima dan Arman. Selama itu, Rima telah menjalani banyak perubahan besar dalam hidupnya. Ia menikah dengan Radit, seorang pria penyayang yang mencintainya tanpa syarat. Radit tidak hanya mencintai Rima, tetapi juga menerima ketiga anaknya---Rian, Ana, dan si kecil yang lahir beberapa bulan setelah perpisahannya dengan Arman.
Radit adalah pria yang lembut dan bertanggung jawab. Ia tak pernah membedakan kasih sayangnya kepada anak-anak Rima, bahkan selalu memastikan mereka merasa dicintai seperti anak kandungnya sendiri.
Sementara itu, kehidupan Arman berubah menjadi bayangan kelam dari kebahagiaan yang dulu ia miliki. Pernikahannya dengan Siska berakhir dengan perceraian setelah satu tahun. Ketidakhadiran cinta yang tulus di antara mereka membuat hubungan itu tak bertahan lama.
Arman kini hidup sendirian, dihantui penyesalan yang tak berujung. Setiap malam, ia merindukan tawa anak-anaknya, kebersamaan di meja makan, dan senyuman lembut Rima yang dulu selalu menyambutnya di rumah. Namun, semua itu kini hanya menjadi kenangan pahit.
Suatu hari, Arman memutuskan untuk menemui Rima. Ia merasa perlu meminta maaf secara langsung dan berharap bisa memperbaiki hubungan, meski hanya sebagai teman.
Ketika ia tiba di rumah Rima, pemandangan yang ia lihat membuat hatinya teriris. Rima tampak begitu bahagia bersama Radit. Mereka sedang bermain di halaman rumah bersama ketiga anaknya. Tawa anak-anak menggema, sementara Radit dengan sabar menggendong si kecil yang terus memintanya berlari.
Arman berdiri di luar pagar, memandangi kebahagiaan yang dulu ia tinggalkan. Ia sadar, kesalahan yang ia buat telah menghapus semua peluang untuk kembali.
Radit, yang menyadari kehadiran Arman, menghampirinya dengan ramah. "Mas Arman, ada yang bisa saya bantu?" tanyanya sopan.
Arman tersenyum pahit. "Aku hanya ingin melihat mereka. Terima kasih sudah menjaga mereka dengan baik."
Radit mengangguk. "Mereka adalah keluarga saya sekarang, Mas. Saya akan selalu mencintai mereka seperti darah daging saya sendiri."
Kata-kata Radit seperti pisau tajam yang menusuk hati Arman. Ia menyadari betapa ia telah kehilangan sesuatu yang sangat berharga. Dengan langkah berat, ia pergi meninggalkan rumah itu, membawa beban penyesalan yang akan terus menghantuinya seumur hidup.
Di dalam rumah, Rima duduk bersama Radit setelah anak-anak tertidur. Ia memandang suaminya dengan senyuman penuh rasa syukur.
"Terima kasih sudah mencintai aku dan anak-anak, Mas. Aku tidak tahu apa jadinya kami kalau bukan kamu yang hadir di hidup kami," ucap Rima dengan mata berkaca-kaca.
Radit meraih tangan Rima dan menggenggamnya erat. "Kamu tidak perlu berterima kasih, Rima. Mencintai kamu dan anak-anak adalah kebahagiaan buatku. Kalian adalah anugerah terbesar dalam hidupku."
Rima merasa hatinya penuh dengan cinta dan kedamaian. Bersama Radit, ia menemukan kembali arti rumah yang sesungguhnya---tempat di mana cinta, penerimaan, dan kebahagiaan berkumpul menjadi satu.
Sementara itu, Arman hanya bisa menatap masa depan tanpa harapan. Ia tahu bahwa takdir telah memutuskan jalannya sendiri. Rima telah menemukan kebahagiaannya, dan ia hanya bisa meratapi kehilangan yang tak pernah bisa ia perbaiki.
Di ujung perjalanan ini, Rima membuktikan bahwa cinta sejati bukanlah tentang siapa yang pertama kali hadir, tetapi siapa yang tetap bertahan dan mencintai tanpa syarat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H