Arman menghela napas panjang, lalu menggenggam tangan Rima. "Rima, kenalkan. Dia Siska... istri abang juga. Kami menikah dua hari yang lalu."
Kata-kata itu membuat dunia Rima terasa runtuh. Ia terhuyung mundur, menatap suaminya dengan air mata yang mengalir deras.
"Tidak mungkin! Abang bohong, kan? Kenapa abang tega melakukan ini?!" teriaknya histeris.
Arman mencoba menjelaskan, tetapi Rima sudah tidak mendengar apa-apa lagi. Ia merasakan seluruh tubuhnya bergetar, seolah jiwanya hancur berkeping-keping. Dengan suara yang lirih namun penuh luka, ia berkata, "Pergi kalian berdua! Aku tidak akan pernah mau dimadu. Lebih baik aku hidup sendiri bersama anak-anakku daripada harus menerima ini!"
Tiga bulan setelah perceraian itu, Rima berjuang untuk bangkit. Ia bekerja di sebuah bank swasta untuk menghidupi kedua anaknya. Setiap hari terasa melelahkan, tetapi ia menemukan kekuatan dalam senyum anak-anaknya.
Meski begitu, luka di hatinya masih menganga. Setiap malam, ia sering menangis dalam diam, merindukan cinta yang dulu ia kira akan abadi.
Di tempat kerjanya, Rima bertemu dengan Radit, seorang pelanggan tetap yang sering datang ke bank. Radit, seorang duda dengan satu anak, mulai menunjukkan perhatian lebih pada Rima. Ia sering mengajak Rima berbicara, mendengarkan keluh kesahnya, dan memberikan motivasi.
"Rima, aku tahu hidup ini tidak adil kadang-kadang. Tapi aku percaya, kamu adalah wanita yang kuat. Kamu layak bahagia," ujar Radit suatu hari.
Kata-kata itu menjadi penghiburan bagi Rima. Perlahan-lahan, ia mulai membuka hatinya, meski masih dipenuhi keraguan.
Di sisi lain, kehidupan rumah tangga Arman dan Siska tidak berjalan mulus. Siska, yang awalnya terlihat bahagia, mulai merasa kesepian karena Arman sering termenung dan melamun. Ia tahu bahwa hati suaminya masih tertinggal pada Rima.
"Bang, apa kamu masih mencintai Rima?" tanya Siska suatu malam.