Hujan deras mengguyur Kota Jakarta malam itu. Aku baru saja selesai bekerja lembur di kantor. Tanganku memeluk erat tas yang berisi dokumen penting. Langkahku terburu-buru menuju halte bus, namun pandanganku terhenti ketika melihat seorang pria berdiri di bawah lampu jalan. Tubuhnya tinggi, mengenakan jas hitam dengan kerah tegak, dan wajahnya tertutup bayangan topi. Ada aura dingin yang memancar darinya.
Aku tahu siapa dia. Semua orang mengenalnya. Reyhan Pratama, lelaki yang disebut-sebut sebagai mafia paling berbahaya di kota ini. Banyak cerita tentang dia: bisnis gelap, kekuasaan, dan tatapan mata tajam yang bisa membuat siapa saja ciut nyali.
Dia menatapku sekilas, dan aku membeku. Rasanya seperti ditelanjangi oleh matanya yang dingin. Aku mempercepat langkah, berharap dia tidak memperhatikanku lagi. Namun, langkah beratnya terdengar mendekat.
"Dokumen itu penting untukmu?" tanyanya dingin, tanpa basa-basi.
Aku tersentak. "A-a-apa maksud Anda?" suaraku bergetar.
"Jangan pura-pura tidak tahu. Mereka mengincarmu."
Aku kebingungan, namun sebelum sempat bertanya lebih jauh, tiga pria dengan wajah penuh luka muncul dari kegelapan. Mereka membawa tongkat dan pisau kecil.
"Serahkan tas itu!" salah satu dari mereka mengancam.
Aku mundur dengan napas tersengal. Namun, sebelum mereka mendekat, Reyhan sudah berada di depan mereka. Dia bergerak cepat, lebih cepat dari kilat. Hanya dalam beberapa detik, ketiga pria itu terkapar di tanah.
"Pergilah. Aku yang urus ini," katanya tanpa menoleh.
Aku terdiam, terlalu takut untuk bergerak. Reyhan berbalik, menatapku tajam. "Apa kau tuli? Pergi!"