Hari-hari berlalu dengan kehadiran Reyhan yang semakin sering. Ia seperti bayangan yang tak terlihat oleh orang lain, namun selalu muncul di saat-saat genting dalam hidupku. Misalnya, ketika aku hampir kehilangan pekerjaanku karena difitnah rekan kantor, Reyhan tiba-tiba datang ke ruang direktur dan menyelesaikan semuanya tanpa aku tahu bagaimana caranya.
"Aku tidak ingin berutang lebih banyak padamu," protesku suatu hari.
Dia hanya menatapku dingin seperti biasa. "Utang? Aku tidak butuh apa pun darimu."
Namun, sikapnya yang dingin justru membuatku semakin penasaran. Apa sebenarnya yang ia sembunyikan di balik wajah tanpa emosi itu?
Suatu malam, aku memutuskan untuk mengikutinya. Dengan hati-hati, aku membuntutinya hingga ia tiba di sebuah panti asuhan kecil di pinggir kota. Aku bersembunyi di balik tembok, mengintip Reyhan yang sedang berbicara dengan seorang wanita tua berjilbab.
"Aku sudah transfer dananya. Pastikan anak-anak mendapatkan makanan yang cukup dan buku-buku sekolah mereka."
Wanita itu mengangguk sambil tersenyum. "Terima kasih, Reyhan. Anda selalu menjadi malaikat bagi kami."
Malaikat? Reyhan? Dua kata yang terasa aneh dalam satu kalimat.
Aku tak sengaja menginjak ranting kering, membuat suara yang menarik perhatiannya. Dalam sekejap, Reyhan menoleh ke arahku. Tatapannya tajam, penuh kewaspadaan.
"Keluar."
Aku mendekat dengan wajah bersalah. "Maaf... Aku tidak bermaksud mengintip."
Dia mendesah panjang. "Kenapa kau mengikutiku?"
"Aku hanya ingin tahu... Kenapa Anda melakukan semua ini? Anda bilang tidak peduli pada siapa pun, tapi jelas Anda sangat peduli pada orang-orang di sini."
Wajahnya berubah, seolah ada kenangan pahit yang menyeruak di benaknya. "Dulu... aku juga salah satu anak yang tinggal di sini. Panti ini menyelamatkan hidupku ketika aku tidak punya siapa-siapa. Aku berhutang budi pada mereka."
Aku terdiam. Untuk pertama kalinya, aku melihat sisi manusiawi Reyhan. Di balik semua ketegasan dan kekerasannya, ternyata ada seorang pria yang berjuang melawan masa lalunya sendiri.
"Kenapa Anda tidak keluar dari dunia mafia? Anda bisa hidup lebih tenang."
Dia tertawa kecil, namun tawa itu terasa getir. "Tidak semudah itu. Dunia ini seperti perangkap. Sekali masuk, kau tidak bisa keluar tanpa meninggalkan luka."
---
Seiring waktu, aku mulai mengerti bahwa Reyhan tidak sepenuhnya jahat. Dunia yang ia pilih memang keras, tetapi ia menggunakan kekuatannya untuk melindungi yang lemah. Bahkan, ia rela mempertaruhkan nyawanya untuk melindungi panti itu dari ancaman mafia lain.
Suatu malam, panti asuhan itu diserang. Sekelompok orang bersenjata datang menuntut uang perlindungan. Aku yang kebetulan sedang menemani Reyhan di sana ikut terjebak.
"Kau tetap di sini," katanya tegas.
"Tapi mereka---"
Dia menatapku, dan untuk pertama kalinya, ada ketakutan di matanya. "Aku tidak akan membiarkan mereka menyakitimu. Percayalah padaku."
Pertarungan pun terjadi. Reyhan menghadapi mereka seorang diri. Tubuhnya penuh luka, tapi dia tidak menyerah. Akhirnya, setelah perjuangan panjang, para penyerang itu kabur.
Namun, Reyhan ambruk di hadapanku.
"Reyhan!" Aku memeluknya, panik melihat darah yang mengalir dari bahunya.
Dia tersenyum lemah. "Aku... hanya ingin melindungi mereka yang berarti bagiku."
Tangisku pecah. "Kenapa harus sejauh ini? Kenapa?"
Dia menatapku, kali ini dengan sorot mata hangat. "Karena kau... adalah salah satu yang berarti bagiku."
---
Malam itu adalah malam yang mengubah segalanya. Reyhan selamat setelah dirawat intensif, namun ia memutuskan untuk meninggalkan dunia mafia. Dengan dukunganku, ia memulai hidup baru, jauh dari kekerasan dan bahaya.
Kini, ia menjalani hari-harinya sebagai pengusaha kecil yang mendukung panti asuhan dan masyarakat sekitar. Dan aku? Aku tetap di sisinya, menjadi saksi perjalanan seorang pria dingin yang ternyata memiliki hati paling baik yang pernah kukenal.
Mafia dingin itu, yang dulu begitu kutakuti, kini menjadi alasan terbesarku untuk tersenyum setiap hari.
Hujan deras mengguyur Kota Jakarta malam itu. Aku baru saja selesai bekerja lembur di kantor. Tanganku memeluk erat tas yang berisi dokumen penting. Langkahku terburu-buru menuju halte bus, namun pandanganku terhenti ketika melihat seorang pria berdiri di bawah lampu jalan. Tubuhnya tinggi, mengenakan jas hitam dengan kerah tegak, dan wajahnya tertutup bayangan topi. Ada aura dingin yang memancar darinya.
Aku tahu siapa dia. Semua orang mengenalnya. Reyhan Pratama, lelaki yang disebut-sebut sebagai mafia paling berbahaya di kota ini. Banyak cerita tentang dia: bisnis gelap, kekuasaan, dan tatapan mata tajam yang bisa membuat siapa saja ciut nyali.
Dia menatapku sekilas, dan aku membeku. Rasanya seperti ditelanjangi oleh matanya yang dingin. Aku mempercepat langkah, berharap dia tidak memperhatikanku lagi. Namun, langkah beratnya terdengar mendekat.
"Dokumen itu penting untukmu?" tanyanya dingin, tanpa basa-basi.
Aku tersentak. "A-a-apa maksud Anda?" suaraku bergetar.
"Jangan pura-pura tidak tahu. Mereka mengincarmu."
Aku kebingungan, namun sebelum sempat bertanya lebih jauh, tiga pria dengan wajah penuh luka muncul dari kegelapan. Mereka membawa tongkat dan pisau kecil.
"Serahkan tas itu!" salah satu dari mereka mengancam.
Aku mundur dengan napas tersengal. Namun, sebelum mereka mendekat, Reyhan sudah berada di depan mereka. Dia bergerak cepat, lebih cepat dari kilat. Hanya dalam beberapa detik, ketiga pria itu terkapar di tanah.
"Pergilah. Aku yang urus ini," katanya tanpa menoleh.
Aku terdiam, terlalu takut untuk bergerak. Reyhan berbalik, menatapku tajam. "Apa kau tuli? Pergi!"
Aku mengangguk dan berlari secepat mungkin. Namun, malam itu hanya permulaan.
---
Beberapa hari kemudian, aku kembali bertemu dengannya. Kali ini di rumah sakit. Ayahku dirawat di sana karena penyakit jantung, dan biaya pengobatan terus membengkak. Aku hampir putus asa, sampai seorang suster mengatakan bahwa ada seseorang yang sudah melunasi seluruh tagihannya.
Aku mencari tahu siapa orang itu, dan ternyata Reyhan sedang duduk di taman rumah sakit, memandangi langit sore.
"Kenapa Anda membantu saya?" tanyaku dengan nada penuh curiga.
Dia menghela napas panjang. "Aku tidak punya alasan khusus. Aku hanya melihat seorang anak yang berjuang untuk ayahnya. Itu mengingatkanku pada diriku dulu."
"Tapi bukankah Anda seorang mafia? Bukankah Anda...berbahaya?"
Dia tersenyum tipis, senyum yang anehnya tidak terasa menakutkan. "Apa yang kau tahu tentang mafia? Kami hanya manusia biasa, yang hidup di dunia penuh kepalsuan. Jika aku dingin, itu karena aku tidak percaya pada banyak orang. Tapi bukan berarti aku tidak peduli."
Sejak saat itu, Reyhan muncul di hidupku seperti bayangan. Membantuku ketika aku terdesak, melindungiku tanpa meminta balasan.
Lambat laun, aku mulai melihat sisi lain dari pria dingin ini. Di balik wajah tanpa ekspresi itu, ternyata ada hati yang penuh luka, namun tetap memilih untuk membantu mereka yang benar-benar membutuhkan.
Reyhan Pratama. Mafia dingin itu ternyata memiliki hati yang lebih hangat dari yang kubayangkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H