Kebencian terhadap ajaran Islam (Islamophobia) kembali terjadi, kali ini yang disoal adalah pembiasaan pemakaian jilbab pada anak sejak kecil sebagaimana diungkap oleh media asal Jerman Deutch Welle (DW) Indonesia melalui akun Twitternya, @dw_indonesia pada Jumat 25 September 2020.
Media tersebut membuat konten video yang mengulas tentang sisi negatif anak memakai jilbab sejak kecil. “Apakah anak-anak yang dipakaikan #jilbab itu memiliki pilihan atas apa yang ingin ia kenakan?” tulis DW Indonesia.
Media DW Indonesia mewawancarai seorang perempuan yang mewajibkan putrinya mengenakan jilbab sejak kecil. Untuk memperkuat pernyataan dan pertanyaan mereka, media tersebut selanjutnya memintai pendapat seorang psikolog, Rahajeng Ika dan seorang feminis muslim, Darol Mahmada yang justru terlihat lebih berpihak pada postingan dan tujuan DW Indonesia.
Psikolog Rahajeng Ika, yang ditanya tentang dampak psikologis bagi anak-anak yang sejak kecil diharuskan memakai jilbab menyatakan jika seorang anak memakai sesuatu tapi belum paham betul konsekuensi dari pemakaiannya itu, akan menimbulkan permasalahan di kemudian hari dalam pergaulan dengan teman-temannya.
“Permasalahannya apabila di kemudian hari bergaul dengan teman-temannya, kemudian agak punya pandangan yang mungkin berbeda, boleh jadi dia mengalami kebingungan, apakah dengan dia pakaian begitu berarti dia punya batasan tertentu untuk bergaul,” kata Rahajeng Ika.
Feminis muslim Darol Mahmada, menyatakan bahwa wajar-wajar saja seorang ibu atau guru mengharuskan anak memakai hijab sejak kecil, namun dia mengungkapkan kekhawatirannya pola pikir anak akan menjadi ekslusif karena sejak kecil ditanamkan untuk “berbeda” dengan yang lain.
Tak ayal postingan DW Indonesia tersebut mengundang reaksi masyarakat, termasuk Wakil Ketua Umum Partai Gerindra yang juga anggota DPR Fadli Zon.
Mereka menghujat DW Indonesia karena dianggap membuat konten islamofobia. Kaum muslimin merasa geram karena pendidikan ketaatan dalam berpakaian pada anak perempuan di usia dini dipermasalahkan, dianggap pemaksaan dan berakibat negatif bagi perkembangan anak.
Islamophobia terhadap Ajaran Islam
Sesungguhnya sikap membenci Islam (Islamophobia) muncul dari rasa kekhawatiran para pembenci Islam akan bangkitnya kesadaran kaum muslimin untuk melaksanakan ajaran Islam secara kaffah.
Mereka tidak suka dengan berbagai simbol dan syiar Islam, termasuk pakaian yang sempurna menutup aurat muslimah. Mereka gerah menyaksikan geliat semangat hijrah menuju Islam di berbagai kalangan, termasuk pada anak-anak usia dini.
Islamophobia itu membuat mereka memusuhi apa saja yang mereka nilai menjadi bagian dari ekspresi keislaman, termasuk pakaian khas muslimah, sehingga mereka berusaha keras untuk menanamkan islamophobia itu pada orang lain, termasuk kepada kaum muslimin sendiri.
Setelah runtuhnya institusi Islam sebagai negara di Turki, pada tanggal 3 Maret 1924, yang menyebabkan hilangnya tatanan pemerintahan Islam, maka pelaksanaan syariat Islam tidak dapat dilaksanakan kembali secara sempurna.
Semua tatanan dan aspek kehidupan kaum muslimin yang bersumber dari Islam disingkirkan, sistem ekonomi Islam diganti dengan sistem ekonomi kapitalis, sistem pendidikan diganti dengan sistem pendidikan sekuler, demikian pula sistem pergaulan mengacu pada standar barat yang liberal.
Kaum muslimin hidup diatur dengan tatanan yang sumbernya bukan dari syariat Islam, akibatnya generasi yang lahir kemudian merasa asing dengan ajaran Islam, termasuk dalam hal berpakaian.
Gelombang kesadaran kaum muslimin untuk kembali pada syariat Islam saat ini massif terjadi. Kaum muslimin dari berbagai kalangan mulai hijrah kembali pada ajaran Islam. Bila pada tahun 80-an muslimah berjilbab masih langka, maka kini bisa kita saksikan hampir di semua wilayah kaum muslimah sudah banyak yang menutup aurat.
Derasnya gelombang Islam membuat banyak orang tua muslim memutuskan untuk melatih anak-anak perempuan mereka untuk taat syariat seperti berjilbab sejak dini. Kesadaran para muslimah berpakaian secara sempurna sesuai tuntunan syariat ini lebih bersumber pada kesadaran dan ketaqwaan individu yang sangat membutuhkan peranan keluarga.
Untuk urusan ini, negara tidak berperan, jangankan menganjurkan atau memerintahkan para muslimah menutup aurat, pada periode pertengahan tahun 80-an, sekolah-sekolah negeri mempersulit siswi yang memakai kerudung (khimar), malah kemudian mengeluarkan aturan yang secara tegas melarang para siswi menggunakan kerudung pada saat bersekolah.
Dengan demikian, keinginan untuk taat dan menjalankan syariat Islam itu lebih pada ketaqwaan individu yang dalam hal ini keluarga, apalagi ibu peranannya sangat besar dalam mendidik anak-anaknya untuk taat syariat.
Al-Ummu madrasal al-ula (ibu adalah sekolah pertama) dalam proses pendidikan anak-anaknya. Kata hikmah ini sudah lama kita dengar, bahkan bukan hanya sekolah pertama, tetapi ibu sejatinya adalah ‘sekolah utama’ bagi anak-anaknya, karena ibu berperan besar dalam membentuk watak, karakter dan kepribadian anaknya, sebelum anak masuk sekolah.
Fenomena ini diketahui para pembenci Islam, mereka berusaha merusak tatanan keluarga, dibuatlah opini-opini yang menyatakan seolah anak yang sudah dibiasakan berhijab sejak kecil itu dipaksa orang tuanya, tidak diberi kebebasan memilih.
Mereka berdalih atas nama kebebasan hak azasi manusia. Mereka mencoba menanamkan pada umat bahwa pembiasaan berhijab sejak dini dapat berdampak buruk pada psikologi anak dan pergaulannya kelak, serta menyebabkan anak menjadi ekslusif.
Jika opini ini terus digaungkan, dapat menyebabkan para muslimah ragu untuk mendidik anaknya supaya menutup aurat sejak dini, terlebih mereka pun gencar mengopinikan supaya kaum muslimah mencopot hijabnya dan beralih menggunakan pakaian nusantara. Lebih jauhnya opini yang ingin mereka giring adalah penerapan Islam secara kaffah akan berdampak buruk pada masyarakat.
Padahal dengan menggunakan logika yang sama, opini tersebut bisa dibalikkan pula pada mereka, yaitu apakah anak-anak yang dipakaikan pakaian tidak menutup aurat itu memiliki pilihan atas apa yang ingin ia kenakan?.
Apakah anak-anak diberi pilihan terhadap aktivitas-aktivitas yang sudah dijejalkan oleh orang tuanya sejak kecil, semisal les bahasa asing, les berenang, les menggambar, les musik ? Apa yang menyebabkan mereka ingin anak-anak mereka mempelajari hal-hal tersebut atau apa yang menyebabkan mereka ingin anak-anak mereka mempunyai pembiasaan tertentu ?
“Apakah anak bayi yang dipakaikan #baju itu memiliki pilihan atas apa yang ingin ia kenakan?” @zarazettirazr. “Apakah anak2 yang disekolahin TK punya pilihan ? Perasaan gue males banget sekolah TK dulu. tapi sekolah juga karena dipaksa ortu, uda gede kubersyukur.” Demikian komentar sebagaimana dikutip dari sini.
Taat pada Syariat Islam Adalah Keharusan Bukan Pilihan
" Bukan masalah suka atau tidak suka mau atau tidak mau tetapi itu masalah kewajiban orang tua mendidik agama pada anaknya sedari kecil sebagai bentuk tanggung jawab sebagai orang tua dan kelak akan dipinta pertanggungjawaban orang tua dalam mendidik anak" @Adijay1305K4. Demikian salah satu komentar yang membela ajaran Islam tentang kewajiban hijab dan jilbab sebagaimana dikutip https://www.gelora.co/2020/09/media-dw-diserang-netizen-gegara.html
Menutup aurat dan perintah berhijab memang merupakan kewajiban dari Allah SWT, sebagaimana diperintahkan Allah SWT dalam firman-Nya pada surat An Nur ayat 31 yang memerintahkan menggunakan kerudung (khimar) yang menutup dada dan surat Al Ahzab: 59 yang memerintahkan menggunakan jilbab sebagai pakaian muslimah. Selain itu terdapat pula hadits Nabi Saw. yang menjelaskan batasan aurat wanita, yaitu seluruh tubuh wanita merupakan aurat kecuali muka dan telapak tangan (HR. Abu Dawud no. 3580).
Para orang tua harus bisa memahamkan pada anak-anak perempuan mereka bahwa hijab itu adalah kewajiban, bukan pilihan. Pemahaman tersebut baru bisa dilaksanakan bila pada diri anak ditanamkan aqidah yang kokoh disertai dengan pembiasaan sejak dini.
Taklif syariat memang hanya dibebankan kepada orang-orang yang telah baligh, belum dibebankan kepada anak-anak. Namun, anak-anak sejak kecil harus sudah dilatih, sehingga saat mereka baligh sudah paham dengan hukum-hukum Islam dan sudah terbiasa melaksanakannya. Sebagaimana perintah Rasulullah saw berkaitan dengan shalat, mensyariatkan agar pendidikan shalat dimulai sejak usia dini. “Perintahlah anak-anak kalian agar mendirikan shalat tatkala mereka telah berumur tujuh tahun dan pukullah (jika tak mau shalat) tatkala mereka telah berumur sepuluh tahun.”
Kaum pembenci Islam, seringkali membayangkan bahwa mendidik anak dengan ajaran Islam itu penuh dengan paksaan, intimidasi dan ancaman sehingga merasa tertekan dengan indoktrinasi ajaran-ajaran Islam. Padahal pembiasaan sangat berbeda dengan pemaksaan.
Anak-anak ditanamkan akidah Islam bukan dengan doktrin, tapi melalui metode berpikir, Anak-anak diajak berpikir tentang keberadaan Allah melalui perantaraan makhluk-makhluk-Nya, diajarkan kekuasaan Allah SWT serta pemahaman bahwa Allah SWT tidak membiarkan manusia begitu saja hidup di dunia tanpa tuntunan. Anak dipahamkan bahwa Allah SWT memberikan panduan dalam segala urusan, sejak manusia bangun tidur, beraktivitas, hingga tertidur kembali. Anak diberi pemahaman bahwa Allah SWT sangat mengasihi dan tahu yang terbaik bagi makhluk-Nya sehingga bahkan untuk pakaian pun diberi aturan yang sudah pasti akan membawa kebaikan. Pemahaman seperti itu kemudian diikuti dengan praktek untuk pembiasaan, sehingga pada saat baligh, anak sudah mempunyai keyakinan yang kuat, aqidah yang kokoh dan mau melaksanakan perintah syariat dengan kesadaran yang utuh.
Pemberian pemahaman dan pembiasaan sesuai tuntunan syariat yang diberikan sejak dini oleh orang tua kepada anak-anaknya, merupakan bentuk tanggung jawab sebagai orang tua, karena kelak Allah SWT akan meminta pertanggungjawaban. Sabda Rasulullah saw :
“Setiap engkau adalah pemelihara, dan setiap engkau akan dimintai pertanggungjawaban mengenai apa yang menjadi tanggung jawab pemeliharaannya: Seorang pemimpin adalah pemelihara, ia akan dimintai pertanggungjawaban mengenai apa yang menjadi tanggung jawab pemeliharaannya. Seorang laki-laki juga pemelihara dalam keluarganya, ia akan dimintai pertanggungjawaban mengenai apa yang menjadi tanggung jawab pemeliharaannya. Dan seorang perempuan adalah pemelihara dalam rumah suaminya, ia akan dimintai pertanggungjawaban mengenai apa yang menjadi tanggung jawab pemeliharaannya.” (HR al-Bukhâri)
Anak-anak yang hidup dalam pendidikan berbasis akidah Islam akan punya kekuatan mental yang kuat dan kepercayaan diri yang tinggi. Keadaan sebaliknya justru akan terjadi, bila anak diberi kebebasan untuk melakukan apa saja, tanpa tuntunan syariat. Pendidikan berbasis sekulerisme liberal, yaitu dengan mengesampingkan peran agama dalam pengaturan kehidupan dan memberi kebebasan untuk mengecap dan melakukan apapun akan menghasilkan anak-anak yang rapuh mentalnya, seperti di negara-negara Jepang, Korea Selatan, kalangan anak mudanya rentan mengalami depresi dan bunuh diri. Ketidak jelasan visi hidup, serta hanya berorientasi pada materi akan melahirkan anak-anak dengan pribadi yang hampa.
Sistem Islam Meniadakan Serangan Serangan Liberal Terhadap Ajaran Islam
Kasus islamophobia yang terus-menerus terjadi terhadap ajaran Islam semestinya bisa dicegah dengan turut campurnya negara dalam memelihara akidah umat. Negara merupakan penjaga generasi umat dari berbagai kerusakan akibat gencarkan opini pemikiran sekuler liberal yang merusak akidah kaum muslimin. Saat ini kaum muslimin harus berjuang sendiri membentengi akidah dirinya dan keluarganya sendiri dari kerusakan pemikiran yang terus diaruskan oleh pembenci Islam dan syariatnya, yaitu kaum liberal. Mereka terus-menerus mengaungkan kebebasan di semua sendi kehidupan termasuk dalam hal kebebasan memilih dalam beragama. Sentimen Islamphobia terus mereka gulirkan atas nama kebebasan dan Hak Asasi Manusia.
Semuanya ini hanya dapat dihentikan bila negara menerapkan syariat Islam secara kaffah melalui institusi Islam, yang akan menjaga akidah umat. Hanya dengan menerapkan sistem Islam kaffah, pihak-pihak yang mengusung sentimen Islamofobia termasuk feminis liberal tidak akan diberi ruang untuk menyebarkan opininya yang merusak dan membahayakan akidah umat.
Wallahu a’lam bish shawab
Penulis: Hani Muliani, Komunitas Muslimah Rindu Surga Bandung
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H