Islamophobia itu membuat mereka memusuhi apa saja yang mereka nilai menjadi bagian dari ekspresi keislaman, termasuk pakaian khas muslimah, sehingga mereka berusaha keras untuk menanamkan islamophobia itu pada orang lain, termasuk kepada kaum muslimin sendiri.
Setelah runtuhnya institusi Islam sebagai negara di Turki, pada tanggal 3 Maret 1924, yang menyebabkan hilangnya tatanan pemerintahan Islam, maka pelaksanaan syariat Islam tidak dapat dilaksanakan kembali secara sempurna.Â
Semua tatanan dan aspek kehidupan kaum muslimin yang bersumber dari Islam disingkirkan, sistem ekonomi Islam diganti dengan sistem ekonomi kapitalis, sistem pendidikan diganti dengan sistem pendidikan sekuler, demikian pula sistem pergaulan mengacu pada standar barat yang liberal.Â
Kaum muslimin hidup diatur dengan tatanan yang sumbernya bukan dari syariat Islam, akibatnya generasi yang lahir kemudian merasa asing dengan ajaran Islam, termasuk dalam hal berpakaian.
Gelombang kesadaran kaum muslimin untuk kembali pada syariat Islam saat ini massif terjadi. Kaum muslimin dari berbagai kalangan mulai hijrah kembali pada ajaran Islam. Bila pada tahun 80-an muslimah berjilbab masih langka, maka kini bisa kita saksikan hampir di semua wilayah kaum muslimah sudah banyak yang menutup aurat.Â
Derasnya gelombang Islam membuat banyak orang tua muslim memutuskan untuk melatih anak-anak perempuan mereka untuk taat syariat seperti berjilbab sejak dini. Kesadaran para muslimah berpakaian secara sempurna sesuai tuntunan syariat ini lebih bersumber pada kesadaran dan ketaqwaan individu yang sangat membutuhkan peranan keluarga.
Untuk urusan ini, negara tidak berperan, jangankan menganjurkan atau memerintahkan para muslimah menutup aurat, Â pada periode pertengahan tahun 80-an, sekolah-sekolah negeri mempersulit siswi yang memakai kerudung (khimar), malah kemudian mengeluarkan aturan yang secara tegas melarang para siswi menggunakan kerudung pada saat bersekolah.
Dengan demikian, keinginan untuk taat dan menjalankan syariat Islam itu lebih pada ketaqwaan individu yang dalam hal ini keluarga, apalagi ibu peranannya sangat  besar dalam mendidik anak-anaknya untuk taat syariat.
Al-Ummu madrasal al-ula  (ibu adalah sekolah pertama)  dalam proses pendidikan anak-anaknya. Kata hikmah ini sudah lama kita dengar, bahkan bukan hanya sekolah pertama, tetapi ibu sejatinya adalah ‘sekolah utama’ bagi anak-anaknya, karena ibu berperan besar dalam membentuk watak, karakter dan kepribadian anaknya, sebelum anak masuk sekolah.
Fenomena ini diketahui para pembenci Islam, mereka berusaha merusak tatanan keluarga, dibuatlah opini-opini yang menyatakan seolah anak yang sudah dibiasakan berhijab sejak kecil itu dipaksa orang tuanya, tidak diberi kebebasan memilih.Â
Mereka berdalih atas nama kebebasan hak azasi manusia. Mereka mencoba menanamkan pada umat bahwa pembiasaan berhijab sejak dini  dapat berdampak buruk pada psikologi anak dan pergaulannya kelak, serta menyebabkan anak menjadi ekslusif.Â