Ingin merasakan Papua yang sebenar-benarnya? Datanglah ke Wamena. Karena semua tentang Papua dapat Anda rasakan di sana. Alamnya, orang-orangnya, budayanya, dan aura mistisnya tidak akan Anda temui di tempat lain. Bener deh.
Wamena adalah Ibukota Kabupaten Jayawijaya. Berbeda dengan Jayapura, Merauke, Timika, Manokwari, ataupun Sorong  yang terletak di daerah pantai atau teluk, Wamena berada di pedalaman, di Lembah Baliem. Wilayahnya  diapit oleh pegunungan Jayawijaya. Ada sungai besar yang mengalir di sana yaitu Sungai Baliem.  Â
Kelebihan Wamena dari tempat lain di Papua adalah pada budayanya. Suku-suku yang mendiami Lembah Baliem atau juga disebut Lembah Agung itu masih kuat mempertahankan adat budayanya. Suku tersebut adalah Lani (ada yang menyebut juga dengan Dani), Nduga, Hubula, dan Walak. Etnis Lani merupakan suku terbesar karena selain di lembah, etnis Lani berdiam pula di luar lembah seperti Dani Barat.
Anggapan tentang sifat tertutup orang-orang  Wamena terhadap orang luar bisa jadi karena dipengaruhi oleh kondisi sosial politik Wamena sangat berbeda dengan daerah-daerah lain di Papua Pesisir.Â
Daerah pesisir seperti Jayapura, Merauke, Timika, Sorong, hampir separuh lebih penduduknya adalah pendatang dari Jawa, Bugis, dan etnis lain, Â jadi sudah jauh lebih modern dan terbuka. Sedangkan di Wamena sebaliknya, penduduk lokal masih menjadi etnis mayoritas. Â Â
Penduduk lokal Wamena kebanyakan berprofesi sebagai petani dan peternak. Mereka menanam umbi-umbian, palawija, dan tembakau. Sebagian kecil lainnya menjadi pembuka lahan, menebang kayu untuk dipasarkan di kota. Pendatang kebanyakan berprofesi sebagai pedagang, membuka usaha jasa, dan pegawai pemerintah.
Kini sedikit demi sedikit Wamena telah berubah. Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah agar Wamena menjadi daerah yang terbuka. Pemerataan akses ekonomi, pembenahan infrastruktur, dan penyelenggaraan event pariwisata skala lokal maupaun internasional seperti Festival Lembah Baliem rutin digelar.
Jika Anda lama tidak berkunjung ke Wamena, tentu akan kaget melihat perkembangannya. Perubahan paling  mencolok yang terlihat adalah fasilitas bandara. Pemerintah telah melakukan pembenahan besar-besaran terkait sarana prasarana di kawasan timur Indonesia, termasuk di Wamena.
Kini kita tidak akan  melihat lagi lagi ram kawat dan bedeng kumuh di Bandara Wamena. Yang terlihat adalah kemegahan arsitektur yang tidak kalah dengan bandara-bandara di Jawa pada umumnya. Bandar Udara Wamena kini menjadi bandara tersibuk kedua setelah Sentani yang melayani setidaknya 150-180 penerbangan sehari.
Selaras dengan konsep nawacita Jokowi-JK, pemerintah telah membangun dan memperbaiki kualitas bandara-bandara di daerah. Bandara-bandara yang tadinya tidak tersentuh, kini mulai digalakkan pembangunan infrastrukturnya-termasuk di Papua.
"Ya memang belum semua harga berubah. Air mineral kemasan misalnya untuk ukuran 1,5 di toko-toko masih dijual Rp 25 ribu per botol. Karena kan bawanya masih pakai kargo pesawat. Jadi harga jualnya mahal. Makan di warung ya sekira Rp 30-40 ribu. Kalau rokok malah tidak beda jauh harganya dengan di Jawa," imbuh Haryadi
Yang paling menggembirakan, kini Wamena sudah bisa diakses lewat jalan darat via Mamugu, Habema. Tadinya akses jalan ini tertutup hutan, namun TNI bersama Kementrian PUPR berhasil membukanya. Saya dan tim berkesempatan menyusurinya.
Jalan sepanjang 284,3 km tersebut merupakan bagian dari megaproyek pembangunan jalan transpapua sepanjang 3.800 km yang dikebut penyelesainnya oleh pemerintah. Walaupun belum beraspal semua, namun akses jalan sudah padat dan bisa dilalui kendaraan roda dua maupun roda empat.
"Asalkan kita baik dengan mereka, tentu mereka tidak akan mengganggu kita. Yang penting dalam perjalanan selalu sedia rokok, coklat, dan uang kecil sebagai tanda persahabatan jika bertemu mereka," kata Ryan pemandu kami.
Seperti dalam perjalanan menuju Habema saat beristirahat untuk mengambil foto, kami dihampiri seorang seorang pria paruh baya yang hanya mengenakan koteka. Namanya Matius. Usianya sekira lima puluh tahun, Ia ditemani istrinya, Maria.
Kami kemudian banyak berbicang dan menjadi akrab. Seperti kebanyakan orang Papua, ia sangat fasih berbahasa Indonesia. Matius bercerita bahwa dirinya sedang menuju daerah atas dekat Habema untuk memeriksa kayu-kayu yang ia kumpulkan. Besok ada pembeli yang akan membawa kayunya ke kota. Ia harus memastikan kayu-kayunya aman dari jamahan orang-orang tidak bertanggung jawab.
Matius dan istrinya, bisa jadi merupakan gambaran hidup dan kehidupan orang-orang Pegunungan Wamena. Sangat bersahaja, sederhana, seadanya, tetapi bisa jadi ia jauh merasa lebih bahagia dari kita yang tinggal dalam hiruk pikuknya kota.
Tetaplah terus bersahaja Matius. Tetaplah menjadi orang Papua. Dengan begitu kau telah mengajari anak cucumu untuk terus menjaga kearifan dan kekayaan budaya nusantara. Kekayaan Indonesia. Yakinlah Yogotak Hubuluk Mutuk Hanorogo.
Redaksi Merput, 22 Agustus 2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H