Mohon tunggu...
Muslihudin El Hasanudin
Muslihudin El Hasanudin Mohon Tunggu... jurnalis -

journalist and more

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Menikmati Keramahan Wamena: The Real of Papua

22 Agustus 2017   15:51 Diperbarui: 26 Agustus 2017   08:09 9869
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penduduk lokal senang melihat aktivitas orang asing yang datang, tapi mereka ramah (foto dindin)

Ingin merasakan Papua yang sebenar-benarnya? Datanglah ke Wamena. Karena semua tentang Papua dapat Anda rasakan di sana. Alamnya, orang-orangnya, budayanya, dan aura mistisnya tidak akan Anda temui di tempat lain. Bener deh.

Wamena adalah Ibukota Kabupaten Jayawijaya. Berbeda dengan Jayapura, Merauke, Timika, Manokwari, ataupun Sorong  yang terletak di daerah pantai atau teluk, Wamena berada di pedalaman, di Lembah Baliem. Wilayahnya  diapit oleh pegunungan Jayawijaya. Ada sungai besar yang mengalir di sana yaitu Sungai Baliem.   

Kelebihan Wamena dari tempat lain di Papua adalah pada budayanya. Suku-suku yang mendiami Lembah Baliem atau juga disebut Lembah Agung itu masih kuat mempertahankan adat budayanya. Suku tersebut adalah Lani (ada yang menyebut juga dengan Dani), Nduga, Hubula, dan Walak. Etnis Lani merupakan suku terbesar karena selain di lembah, etnis Lani berdiam pula di luar lembah seperti Dani Barat.

Penduduk lokal senang melihat aktivitas orang asing yang datang, tapi mereka ramah (foto dindin)
Penduduk lokal senang melihat aktivitas orang asing yang datang, tapi mereka ramah (foto dindin)
Banyak yang menganggap bahwa etnis Lani termasuk kelompok yang tertutup. Karenanya sangat sulit orang luar Papua dapat memperoleh informasi dari mereka. Konon orang-orang Lani selalu curiga terhadap orang-orang luar yang datang. Sikap-sikap seperti ini dapat dimengerti karena sering terjadi perang suku di antara mereka.

Anggapan tentang sifat tertutup orang-orang  Wamena terhadap orang luar bisa jadi karena dipengaruhi oleh kondisi sosial politik Wamena sangat berbeda dengan daerah-daerah lain di Papua Pesisir. 

Daerah pesisir seperti Jayapura, Merauke, Timika, Sorong, hampir separuh lebih penduduknya adalah pendatang dari Jawa, Bugis, dan etnis lain,   jadi sudah jauh lebih modern dan terbuka. Sedangkan di Wamena sebaliknya, penduduk lokal masih menjadi etnis mayoritas.   

Penduduk lokal Wamena kebanyakan berprofesi sebagai petani dan peternak. Mereka menanam umbi-umbian, palawija, dan tembakau. Sebagian kecil lainnya menjadi pembuka lahan, menebang kayu untuk dipasarkan di kota. Pendatang kebanyakan berprofesi sebagai pedagang, membuka usaha jasa, dan pegawai pemerintah.

Bersama Pak Matius dan Maria istrinya, ramah dan penuh persahabatan (foto dindin)
Bersama Pak Matius dan Maria istrinya, ramah dan penuh persahabatan (foto dindin)
Wamena dulu adalah  daerah yang terisolasi, tidak banyak akses yang bisa menghubung ke Lembah Baliem tersebut. Seluruh arus barang dan manusia harus melalui akses udara. Karenanya semua barang dan jasa di Wamena menjadi mahal.

Kini sedikit demi sedikit Wamena telah berubah. Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah agar Wamena menjadi daerah yang terbuka. Pemerataan akses ekonomi, pembenahan infrastruktur, dan penyelenggaraan event pariwisata skala lokal maupaun internasional seperti Festival Lembah Baliem rutin digelar.

Jika Anda lama tidak berkunjung ke Wamena, tentu akan kaget melihat perkembangannya. Perubahan paling  mencolok yang terlihat adalah fasilitas bandara. Pemerintah telah melakukan pembenahan besar-besaran terkait sarana prasarana di kawasan timur Indonesia, termasuk di Wamena.

Kini kita tidak akan  melihat lagi lagi ram kawat dan bedeng kumuh di Bandara Wamena. Yang terlihat adalah kemegahan arsitektur yang tidak kalah dengan bandara-bandara di Jawa pada umumnya. Bandar Udara Wamena kini menjadi bandara tersibuk kedua setelah Sentani yang melayani setidaknya 150-180 penerbangan sehari.

Selaras dengan konsep nawacita Jokowi-JK, pemerintah telah membangun dan memperbaiki kualitas bandara-bandara di daerah. Bandara-bandara yang tadinya tidak tersentuh, kini mulai digalakkan pembangunan infrastrukturnya-termasuk di Papua.

Bersama anak-anak muda Wamena (foto dindin)
Bersama anak-anak muda Wamena (foto dindin)
Seperti diceritakan Haryadi seorang pengusaha rental yang saya temui di Wamena, harga BBM di Wamena dulu bisa mencapai Rp 70 ribu sampai Rp 100 ribu per liter. Kini kalau pakai kupon beli di SPBU ya sama seperti di Jawa Rp 6 ribuan perliter, kalau beli eceran ya sekira Rp 13 ribuan. "Kalau dulu di sini bisa Rp 70.000 -Rp.100.000 per liter, sekarang tidak lagi ada cerita itu," kata Haryadi.

"Ya memang belum semua harga berubah. Air mineral kemasan misalnya untuk ukuran 1,5 di toko-toko masih dijual Rp 25 ribu per botol. Karena kan bawanya masih pakai kargo pesawat. Jadi harga jualnya mahal. Makan di warung ya sekira Rp 30-40 ribu. Kalau rokok malah tidak beda jauh harganya dengan di Jawa," imbuh Haryadi

Yang paling menggembirakan, kini Wamena sudah bisa diakses lewat jalan darat via Mamugu, Habema. Tadinya akses jalan ini tertutup hutan, namun TNI bersama Kementrian PUPR berhasil membukanya. Saya dan tim berkesempatan menyusurinya.

Jalan sepanjang 284,3 km tersebut merupakan bagian dari megaproyek pembangunan jalan transpapua sepanjang 3.800 km yang dikebut penyelesainnya oleh pemerintah. Walaupun belum beraspal semua, namun akses jalan sudah padat dan bisa dilalui kendaraan roda dua maupun roda empat.

Jalan Transpapua Wamena-Nduga (foto dindin)
Jalan Transpapua Wamena-Nduga (foto dindin)
Sungguh  pengalaman yang tidak terlupakan bisa menyusuri pegunungan Wamena yang masih perawan Udaranya sejuk, alamnya asri, dan penduduknya menurut saya tidak seperti anggapan banyak orang-cukup ramah.

"Asalkan kita baik dengan mereka, tentu mereka tidak akan mengganggu kita. Yang penting dalam perjalanan selalu sedia rokok, coklat, dan uang kecil sebagai tanda persahabatan jika bertemu mereka," kata Ryan pemandu kami.

Seperti dalam perjalanan menuju Habema saat beristirahat untuk mengambil foto, kami dihampiri seorang seorang pria paruh baya yang hanya mengenakan koteka. Namanya Matius. Usianya sekira lima puluh tahun, Ia ditemani istrinya, Maria.

Kami kemudian banyak berbicang dan menjadi akrab. Seperti kebanyakan orang Papua, ia sangat fasih berbahasa Indonesia. Matius bercerita bahwa dirinya sedang menuju daerah atas dekat Habema untuk memeriksa kayu-kayu yang ia kumpulkan. Besok ada pembeli yang akan membawa kayunya ke kota. Ia harus memastikan kayu-kayunya aman dari jamahan orang-orang tidak bertanggung jawab.

Menikmati Danau Habema, dari air tawar di pucak gunung (foto dindin)
Menikmati Danau Habema, dari air tawar di pucak gunung (foto dindin)
Setelah berbagi rokok dan sedikit rupiah dengannya, kami melanjutan perjalanan. Ia dan istrinya mengucapkan terima kasih dan menyalam erat tangan kami. Dari kejauhan kami lihat Matius dan istrinya melanjutkan perjalanan dengan berjalan beriring, membelah pagi Pegunungan Wamena yang masih berkabut. Tidak tahu berapa puluh kilometer lagi jalan yang akan ia susuri.

Matius dan istrinya, bisa jadi merupakan gambaran hidup dan kehidupan orang-orang Pegunungan Wamena. Sangat bersahaja, sederhana, seadanya, tetapi bisa jadi ia jauh merasa lebih bahagia dari kita yang tinggal dalam hiruk pikuknya kota.

Tetaplah terus bersahaja Matius. Tetaplah menjadi orang Papua. Dengan begitu kau telah mengajari anak cucumu untuk terus menjaga kearifan dan kekayaan budaya nusantara. Kekayaan Indonesia. Yakinlah Yogotak Hubuluk Mutuk Hanorogo.

Redaksi Merput, 22 Agustus 2017

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun