Tak apa. Â Masjid bukan tentang gemerlap lampu kristal. Juga pantulan kilaunya di keramik lantai, pun dinding. Lalu gemerlapnya memantul di kulit-kulit yang bersih tersapu air wudhu. Di sosok-sosok berkopiah hitam dan berjidat bersih. Kerling sepasang mata terang, sering basah pada sujud-sujud malam. Saling memantul pula di sosok-sosok terbungkus beragam kain, hanya menyisakan wajah-wajah senyum. Dalam doa, 'Semoga Allah SWT melimpahkan keselamatan serta rahmat-Nya atasmu'.
Itulah kesejatian gemerlap Rumah Allah SWT. Gemerlapnya adalah tentang wajah-wajah bersih berpasrah pada iman. Gemerlapnya juga tentang huu sekaligus hilir dari berjuta kebaikan, atas nama iman Islam. Gemerlap-gemerlap yang abadi, pada dua masjid yang lekat di hatiku. Kubilang sekali lagi, mereka berdua, masjid tanpa lampu kristal.
Atau mungkin, lampu-lampu kristalnya, terpaksa diturunkan? Karena gemerlapnya meriuhkan goyangan gempa Lombok di 2018 lalu? Wallohualam bissowab.
Gema Perjuangan di Balik Sosok Masjid Al Mujahiddin
Masjid Al Mujahiddin bukan saja Masjid Raya kota kabupaten Lombok Timur. Kota Selong. Adanya adalah juga kenangan tentang sosok almarhum nenek. Nenek pula yang mengenalkan, Jumat boleh bagi perempuan. Sesekali. Walau kenangan tentangnya, berbalapan. Antara masygul kehilangan sandal warna ungu baru, dengan kerlap kerlip cantik. Atau betapa kagumnya aku pada nenek. Begitu berani mengajak aku yang anak kecil, perempuan, berbaris shaf dengan para lelaki. Satu hari di hari Jumat. Dulu.
Lain waktu, kucoba mencari tahu. Usai berjemaah wajib pun sunnah, akan kukisahkan mengapa masjid raya ini bernama Al Mujahiddin. Semoga nanti, mereka berdua bisa dapatkan referensi kisah lebih baik. Bahwa, bisa jadi masjid ini, setua berdirinya kota Selong. Yang telah disebutkan di catatan-catatan kerajaan Belanda. Sungguh lama. Sejak tahun 1890an.
Genangan Kisah Hidup di Masjid Al Amanah
Jika saja masjid adalah juga boleh sebagai tempat Aqiqah, kukira, sempurna Masjid Al Amanah menjadi satu lingkar penuh kisahku dan almarhum bapak. Di masjid ini, berkumpul semua kisah hidup, masa kecil, masa remaja, masa berkeluarga, dan putra bungsu yang turut mensholatkan jenazah mbah kakungnya. Bapakku.
Masjid yang lekat dengan kenangan. Dulu, kecilku meniti jalan tanah. Hampir mirip pematang sawah. Lantainya dari semen. Sesekali berkilat, ketika petugas masjid berbaku mengepel. Pembatasnya bilah-bilah kayu bercat hijau pekat. Lantainya bukan ubin, namun dingin dan damainya, sama persis dengan ubin masjid mana pun. Bahkan mungkin yang memakai lampu kristal.
Entah, perasaan apa yang lebih tepat kurasakan. Ketika ia bercerita, bagaimana ia berdesakan di shaf sholat jenazah mbah kakungnya. Dua tahun lalu. Haru jelas. Tapi, mungkin aku masih enggan mengentas sedih ditinggal bapak. Aku tak benar-benar ingat, bahwa beliau pun memang disholatkan di Masjid Al Amanah, sebelum berangkat dan dikuburkan di pemakaman umum kota Selong. Entah.
Yang jelas, dua masjidku tetap beriring jalan dengan jaman. Jika dulu kami cukup di satu lantai, Masjid Al Mujahiddin dan Masjid Al Amanah, sama-sama dua lantai. Lantai-lantai sudah dipasangi keramik-keramik indah. Lampu-lampu gemerlap terpasang di sana dan di sini. Toilet-toiletnya bersih, sedikit mirip dengan toilet di mall. Lahan parkirnya luas. Beberapa sisi pun terpasang baja ringan. Sound system dari speakernya, bisa diatur mengarah dan berkualitas suara berapa oktaf. Dua masjid favoritku, sudah ramah teknologi.
Namun, maaf. Hari ini, menghadirkan dua kisah masjid terdekat di hati, dengan se-gloomy ini. Mungkin karena seharian terakhir, kita, kembali ditinggalkan malam Nuzulul Qur'an. Semoga, kita masih beroleh rezeki umur, waktu dan sehat, bertemu malam yang sama. 365 hari kurang. Setahun ke depan. Insha Allah, aamin.
*Selong 30 April 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H