Mohon tunggu...
Muslifa Aseani
Muslifa Aseani Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Momblogger Lombok

www.muslifaaseani.com | Tim Admin KOLOM | Tim Admin Rinjani Fans Club

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Di Masjidku Tak Ada Lampu Kristal

30 April 2021   15:17 Diperbarui: 30 April 2021   15:23 1052
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang tengah Masjid Al Amanah, dengan banyak penanda jarak, karena pandemi. Dokpri

Tak apa.  Masjid bukan tentang gemerlap lampu kristal. Juga pantulan kilaunya di keramik lantai, pun dinding. Lalu gemerlapnya memantul di kulit-kulit yang bersih tersapu air wudhu. Di sosok-sosok berkopiah hitam dan berjidat bersih. Kerling sepasang mata terang, sering basah pada sujud-sujud malam. Saling memantul pula di sosok-sosok terbungkus beragam kain, hanya menyisakan wajah-wajah senyum. Dalam doa, 'Semoga Allah SWT melimpahkan keselamatan serta rahmat-Nya atasmu'.

Itulah kesejatian gemerlap Rumah Allah SWT. Gemerlapnya adalah tentang wajah-wajah bersih berpasrah pada iman. Gemerlapnya juga tentang huu sekaligus hilir dari berjuta kebaikan, atas nama iman Islam. Gemerlap-gemerlap yang abadi, pada dua masjid yang lekat di hatiku. Kubilang sekali lagi, mereka berdua, masjid tanpa lampu kristal.

Atau mungkin, lampu-lampu kristalnya, terpaksa diturunkan? Karena gemerlapnya meriuhkan goyangan gempa Lombok di 2018 lalu? Wallohualam bissowab.

Gema Perjuangan di Balik Sosok Masjid Al Mujahiddin

Masjid Al Mujahiddin bukan saja Masjid Raya kota kabupaten Lombok Timur. Kota Selong. Adanya adalah juga kenangan tentang sosok almarhum nenek. Nenek pula yang mengenalkan, Jumat boleh bagi perempuan. Sesekali. Walau kenangan tentangnya, berbalapan. Antara masygul kehilangan sandal warna ungu baru, dengan kerlap kerlip cantik. Atau betapa kagumnya aku pada nenek. Begitu berani mengajak aku yang anak kecil, perempuan, berbaris shaf dengan para lelaki. Satu hari di hari Jumat. Dulu.

Awal purnama Ramadan 2021, dari anak tangga lantai 2, Masjid Al Mujahiddin kota Selong. Dokpri
Awal purnama Ramadan 2021, dari anak tangga lantai 2, Masjid Al Mujahiddin kota Selong. Dokpri
Kenangan yang kuharap juga terikat erat di putra bungsuku. Kenangan berulang. Beberapa tahun lalu, aku mengajaknya juga, bertiga dengan si sulung. Saat itu bahkan lebih ekstrim. Bertiga kami menanti terbitnya matahari, di salah satu sayap tanpa pengaman. Di sisi timur masjid. Untung tak ada marbot yang menegus dan memaksa kami segera turun. Tak terbayang, gugupnya kami menuruni selasar dinding tak berpagar.

Lain waktu, kucoba mencari tahu. Usai berjemaah wajib pun sunnah, akan kukisahkan mengapa masjid raya ini bernama Al Mujahiddin. Semoga nanti, mereka berdua bisa dapatkan referensi kisah lebih baik. Bahwa, bisa jadi masjid ini, setua berdirinya kota Selong. Yang telah disebutkan di catatan-catatan kerajaan Belanda. Sungguh lama. Sejak tahun 1890an.

Genangan Kisah Hidup di Masjid Al Amanah

Jika saja masjid adalah juga boleh sebagai tempat Aqiqah, kukira, sempurna Masjid Al Amanah menjadi satu lingkar penuh kisahku dan almarhum bapak. Di masjid ini, berkumpul semua kisah hidup, masa kecil, masa remaja, masa berkeluarga, dan putra bungsu yang turut mensholatkan jenazah mbah kakungnya. Bapakku.

Masjid Al Amanah, Embung Papak, kota Selong. Dokpri
Masjid Al Amanah, Embung Papak, kota Selong. Dokpri
Dulu, Embung Papak adalah nama yang lekat. Bisa jadi, karena di salah satu sudut kompleks masjid, terdapat mata air. Dimana kami biasa menyebutnya sebagai 'Embung'. Bahkan tak jarang, sebagian kami mengernyit heran, 'Masjid Al Amanah'? Lalu lekas-lekas berwajah sumringah, ketika sebutkan 'Masjid Embung Papak'. Dan membalas, 'Ah, ia, masjid yang berada di timur Porda kan?'.

Masjid yang lekat dengan kenangan. Dulu, kecilku meniti jalan tanah. Hampir mirip pematang sawah. Lantainya dari semen. Sesekali berkilat, ketika petugas masjid berbaku mengepel. Pembatasnya bilah-bilah kayu bercat hijau pekat. Lantainya bukan ubin, namun dingin dan damainya, sama persis dengan ubin masjid mana pun. Bahkan mungkin yang memakai lampu kristal.

Ruang tengah Masjid Al Amanah, dengan banyak penanda jarak, karena pandemi. Dokpri
Ruang tengah Masjid Al Amanah, dengan banyak penanda jarak, karena pandemi. Dokpri
Salah satu petak batu koral sikat, di halaman Masjid Al Amanah. Kini menjadi lokasi sholat darurat. Lagi-lagi karena pandemi. Tempat favorit si bungsu. Dokpri
Salah satu petak batu koral sikat, di halaman Masjid Al Amanah. Kini menjadi lokasi sholat darurat. Lagi-lagi karena pandemi. Tempat favorit si bungsu. Dokpri
Beranjak besar, jendela berkaca mulai terpasang. Sesekali, kami yang abg, saling mencuri pandang ke barisan dalam shaf lelaki. Apakah ada si dia, di salah satu shaf? Lalu berkeluarga. Si bungsu masih sulit jauh dari ketek emaknya. Alih-alih khusyuk di shaf lelaki, di ramadan tahun ini, kami memilih shaf di atas batu koral sikal. Halaman masjid. Satu-satunya petak-petak yang tidak dipasangi tanda silang. Agar sajadah kami bisa bersisian. Lalu ketika ia merasa lelah, ia sandarkan diri di tubuh emaknya. Aku.

Entah, perasaan apa yang lebih tepat kurasakan. Ketika ia bercerita, bagaimana ia berdesakan di shaf sholat jenazah mbah kakungnya. Dua tahun lalu. Haru jelas. Tapi, mungkin aku masih enggan mengentas sedih ditinggal bapak. Aku tak benar-benar ingat, bahwa beliau pun memang disholatkan di Masjid Al Amanah, sebelum berangkat dan dikuburkan di pemakaman umum kota Selong. Entah.

Masjid Al Amanah kabarnya adalah wakaf satu keluarga besar nan kaya di kota Selong. Di ujung baratnya, terdapat satu kompleks makam keluarga. Sunset ini, mengintip di sela dedaunan pohon kamboja di kompleks makam. Dokpri
Masjid Al Amanah kabarnya adalah wakaf satu keluarga besar nan kaya di kota Selong. Di ujung baratnya, terdapat satu kompleks makam keluarga. Sunset ini, mengintip di sela dedaunan pohon kamboja di kompleks makam. Dokpri
Dua masjidku tak ada lampu kristal. Tapi, seperti genangan kisah hidupku, semoga begitu pula kesan mendalam banyak jemaahnya. Masjid bukan semata tempat ibadah. Ialah Rumah Allah SWT. Pusat dari berjuta satu pinta. Penanda dari banyak ikatan suci, pun tempat terakhir terputusnya ikatan dunia. Suami yang meninggalkan istri, atau sebaliknya. Bapak yang meninggalkan anak-anaknya, atau sebaliknya. Tempat dari senyum-senyum penuh syukur, juga tangisan para peminta taubat, semoga segala dosa disempatkan memutih sebelum akhir hidup.

Yang jelas, dua masjidku tetap beriring jalan dengan jaman. Jika dulu kami cukup di satu lantai, Masjid Al Mujahiddin dan Masjid Al Amanah, sama-sama dua lantai. Lantai-lantai sudah dipasangi keramik-keramik indah. Lampu-lampu gemerlap terpasang di sana dan di sini. Toilet-toiletnya bersih, sedikit mirip dengan toilet di mall. Lahan parkirnya luas. Beberapa sisi pun terpasang baja ringan. Sound system dari speakernya, bisa diatur mengarah dan berkualitas suara berapa oktaf. Dua masjid favoritku, sudah ramah teknologi.

Namun, maaf. Hari ini, menghadirkan dua kisah masjid terdekat di hati, dengan se-gloomy ini. Mungkin karena seharian terakhir, kita, kembali ditinggalkan malam Nuzulul Qur'an. Semoga, kita masih beroleh rezeki umur, waktu dan sehat, bertemu malam yang sama. 365 hari kurang. Setahun ke depan. Insha Allah, aamin.

*Selong 30 April 2021

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun