Mengapa bisa mengakali sejarah? Di bagian mana?
Begini.
Saya bahkan masih harus menunggu lebih dari sewindu untuk menjadi seumuran dengan usia film ini. Enam puluh tahun. Itu juga kalau saya beroleh rezeki penambahan umur.
Jika bulan lalu banyak pihak yang mulai berimajinasi seperti apa hidup plus kehidupan kebanyakan masyarakat Indonesia di seabad merdeka, 29 tahun ke depan, tim kreatif restorasi film Tiga Dara sudah menyatakannya. Belum seperempat abad beranjak dari euforia jaman millennium, saat ini sebagian besar kita sedang girang gemilang bersiram teknologi digital di semua sisi kehidupan.
Reformasi digital pula yang digunakan merestorasi Tiga Dara, mengolahnya menjadi berbagai resolusi format dan film Tiga Dara menjadi film lawas pertama Indonesia yang format 4Knya serentak diputar 11 Agustus lalu.
Meski saat ini bioskop terdekat dari kota saya hanya berjarak satu setengah jam berkendara, keluarga kecil saya belum pernah sekali pun menikmati film di bioskop. Era digital yang memudahkan kami menonton banyak genre film, gratis. Bahkan tak perlu mandi, dus memantas-mantaskan diri agar terlihat sesuai di barisan penonton bioskop. Tantangan yang diminimkan oleh tim kreatif restorasi, menjadikan film Tiga Dara yang meledak serta merajai bioskop Indonesia di tahun 1957 Â selama 8 minggu berturut-turut, berada di beberapa judul film baru Indonesia di pertengahan tahun ini.
Kecuali restorasi Tiga Dara, empat film lainnya berlatar kisah, lanjutan, benang merah dari kisah-kisah masa lalu.
Lantas, sejarah apa yang berani-beraninya saya asumsikan dilangkahi oleh film restorasi Tiga Dara?
Kembali pada angka 60 tahun, hitungan sederhana di satu keluarga inti, telah terdapat tiga generasi keluarga. Kakek-nenek sebagai generasi pertama, bapak-ibu generasi lapis kedua, dan anak-anak di baris ketiga.
Karakter-karakter pun latar kisah film Tiga Dara kental dialami generasi pertama. Pun bahkan sudah lebih mengental bersama berbagai asam garam kehidupan selama 60 tahun di dunia. Generasi kedua, asumsi saya menjadi penengah antara si pertama dan ketiga. Berusaha yakin bahwa telah berhasil sebaik generasi pertama, sanggup dan masih berjuang konsisten menjadi sosok atau karakter-karakter panutan. Terutama bagi generasi ketiga, anak-anak.
Mari kembali menjejak hari ini dan ijinkan saya sebutkan beberapa fakta-fakta kekinian yang mengharuskan kita selalu ingat bahwa benar kita sedang hidup di tahun 2016, bukan 1950-an.
Era sosmed
Beriringan dengan semakin terdigitalisasinya banyak sisi kehidupan kita, pelosok Indonesia mulai bisa bersama-sama mengenal sosok-sosok yang sengaja pun tidak berbagi gambaran dirinya. Baik sedikit pun sebagian besar kisahnya. Sosok-sosok yang bisa ditemui setiap hari, sebanyak waktu yang kita mau habiskan selancari kisah-kisah mereka di tebaran akun-akun sosial media. Tak tertolak, seringkali tak tersaring.
Merujuk pada karakter Nunung (Citra Dewi), si putri sulung yang ketiban sampur harus merawat dua adik-adiknya yang sama-sama gadis, enggan beroleh jodoh karena kadung terikat oleh tanggung jawab keseharian minus ketiadaan ibu mereka. Â Fakta yang mulai mengkultur di banyak keluarga lainnya di Indonesia saat ini. Namun sedikit banyak mulai tersiasati oleh teknologi digital.
Keberadaan ibu atau bapak boleh terpisah jarak. Teknologi digital menghapus jarak tersebut, mengisi, menjembatani, menjaga serta menghubungkan keterpisahan.
Fakta pertama, mari tengok akun sosmed Karin ‘Awkarin’ Novilda. Generasi tengah, para orangtua terbelah. Mungkin bukan dua. Barisan pengecam dan barisan yang berempati. Mungkin terbelah menjadi banyak barisan. Sebagian yang kadung biasakan anak-anak mereka mengakrabi gadget, berbagi banyak sharing, tips serta saran-saran untuk tak menjadi seperti Awkarin. Sebagian yang anak-anaknya belum terkena gadget, menunggu saatnya tiba sembari memuaskan diri pandangi pose-pose selfie anak-anak mereka –belum seperti Awkarin, semoga sampai kapan pun, tidak menjadi Awkarin. Jika beruntung tak pegangi gadget mereka sendiri, pose mereka terekam plus tersimpan di gadget teman-teman mereka yang miliki gadget. Sebagian yang lain, mungkin seperti saya, merasa cukup tahu dulu saja dan kembali ke rutinitas sendiri. Mengakrabi dunia sosmed, sesekali menengok ‘diskusi’ yang bertalian di kompleksitas isu sosial berlabel ‘Awkarin’ dan sudah lah, hidup ternyata tak harus selalu tentang ‘Awkarin’.
Terkini, kisah yang melingkupi satu sosok sosmed saya yakini telah kembali menyatukan tiga generasi. Kisruh keluarga seorang sosok motivator terkenal yang acara khususnya sempat merajai pertelevisian Indonesia. Karena permasalahannya masih bergulir dan sedang hangat-hangatnya, saya menghindari penyebutan nama mengingat keterkenalan sosok ini. Benang merah di kisruh internal yang kemudian mengemuka melalui akun-akun sosmed dan kemudian menyebar di kalangan netizen, tentang hubungan keluarga yang seharusnya tak terputus antara orang tua dan anak. Benang merah yang justru terekatkan dengan baik dengan pemutaran restorasi film Tiga Dara, digambarkan di kalimat penutup Yoki Soufyan atas kesan-kesannya terlibat diproses restorasi serta menyaksikan langsung pemutaran perdananya, … film yang baik ternyata dapat menyatukan keluarga, dapat membuat oma-opa-eyang-kakek-nenek-ibu-bapak-anak nongkrong bareng di café, berbincang seru, sampai larut malam!...
Saya bukan follower Awkarin pun sang motivator ulung. Jadi, saya sungguh-sungguh tak tahu apakah mereka berdua menonton Tiga Dara atau tidak.
Jadi, kecil pula harapan saya bahwa jika saja Awkarin seorang putri sulung di keluarganya, tentu tak harus ia berbusana begitu sopan dan berwibawa seperti Nunung. Atau lebih baik lagi, bersikap menjadi ibu pengganti bagi adik-adiknya (atau followernya?). Bahwa akan selalu ada saat di mana kita perlu mendengarkan saran-saran, nasehat-nasehat pihak lain. Tak lebih dan tak kurang, demi kebaikan kita sendiri. Mungkin belum sekarang. Mungkin tidak langsung selepas melangkah keluar dari bioskop dengan pikiran penuh, gerangan nilai-nilai kehidupan seperti apa yang harus saya endapkan dari Tiga Dara?
Digitalisasi Sejarah
Saya berterima kasih pada tim restorasi film Tiga Dara. Di tengah gempuran tontonan serba gratis dan kisah-kisah nyata yang tertebar di akun-akun sosmed, terselip harapan tinggi, masih ada list-list film lawas lain yang menunggu di restorasi. Tak melulu tentang kisah-kisah masa lalu yang berikan rujukan selera fashion yang mungkin bisa jadi trend setter, terbesar bagi saya di antaranya;
Satu, nilai-nilai ketimuran sebagai bangsa Indonesia yang luhur dan tak tergerus jaman. Ikatan keluarga, penghargaan-penghargaan bagi dan antar generasi. Tak peduli Anda, saya, pun kita tengah berperan menjadi kakek atau nenek, ibu atau bapak, pun anak-anak, ketika masih bersama di ikatan keluarga apa pun masalah kehidupan yang muncul, baiklah adanya dirembug bersama.
Dua, nilai-nilai terbaik pribadi bukan tentang bungkusnya. Kebaya, tank-top, jeans berlubang, gamis berhijab lebar, tindikan tubuh (piercing) pun orientasi seks ( ? ) ada dan muncul hampir di semua ‘nama’ jaman yang kita lalui – entah telah, atau belum. Kembali, keluarga menjadi basis utama. Wadah menumbuhkan, kembangkan dan jaga karakter-karakter baik. Berikutnya bersama-sama menjadi kelompok besar, bangsa besar.
Tiga, era digital saat ini telah menisbikan jarak, namun keping satunya justru bisa juga membuka jurang nan lebar. Saya meyakini niat baik tim restorasi film Tiga Dara telah melakukan kalimat baik pertama. Kisah yang dibungkus komedi romantis Tiga Dara di 60 tahun lalu, mungkin dan sungguh bisa selalu menjadi inspirasi hidup kekinian.
Bagi saya, restorasi film Tiga Dara berhasil mengakali sejarah dengan bentuk baru. Berhasil menjadi tontonan tiga lapis generasi keluarga, plus semoga sejalan dengan pengharapan baik saya, menjadi rujukan nilai-nilai kebaikan manusia di era digital yang serba terbuka seperti saat ini. Semoga.
*Selong 11 September
Referensi: Satu, Dua, Tiga, Empat.
Ulasan ini disertakan di Lomba Menulis: Lomba Nulis Restorasi Film Tiga Dara bersama PK (Planet Kenthir) di Kompasiana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H