Mohon tunggu...
Muslifa Aseani
Muslifa Aseani Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Momblogger Lombok

www.muslifaaseani.com | Tim Admin KOLOM | Tim Admin Rinjani Fans Club

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

[Lomba PK] Mengakali Sejarah di Restorasi Film Tiga Dara

11 September 2016   12:42 Diperbarui: 11 September 2016   12:50 246
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kredit Foto Sesuai Link di Watermark.

Mari kembali menjejak hari ini dan ijinkan saya sebutkan beberapa fakta-fakta kekinian yang mengharuskan kita selalu ingat bahwa benar kita sedang hidup di tahun 2016, bukan 1950-an.

Era sosmed

Beriringan dengan semakin terdigitalisasinya banyak sisi kehidupan kita, pelosok Indonesia mulai bisa bersama-sama mengenal sosok-sosok yang sengaja pun tidak berbagi gambaran dirinya. Baik sedikit pun sebagian besar kisahnya. Sosok-sosok yang bisa ditemui setiap hari, sebanyak waktu yang kita mau habiskan selancari kisah-kisah mereka di tebaran akun-akun sosial media. Tak tertolak, seringkali tak tersaring.

Merujuk pada karakter Nunung (Citra Dewi), si putri sulung yang ketiban sampur harus merawat dua adik-adiknya yang sama-sama gadis, enggan beroleh jodoh karena kadung terikat oleh tanggung jawab keseharian minus ketiadaan ibu mereka.  Fakta yang mulai mengkultur di banyak keluarga lainnya di Indonesia saat ini. Namun sedikit banyak mulai tersiasati oleh teknologi digital.

Keberadaan ibu atau bapak boleh terpisah jarak. Teknologi digital menghapus jarak tersebut, mengisi, menjembatani, menjaga serta menghubungkan keterpisahan.

Fakta pertama, mari tengok akun sosmed Karin ‘Awkarin’ Novilda. Generasi tengah, para orangtua terbelah. Mungkin bukan dua. Barisan pengecam dan barisan yang berempati. Mungkin terbelah menjadi banyak barisan. Sebagian yang kadung biasakan anak-anak mereka mengakrabi gadget, berbagi banyak sharing, tips serta saran-saran untuk tak menjadi seperti Awkarin. Sebagian yang anak-anaknya belum terkena gadget, menunggu saatnya tiba sembari memuaskan diri pandangi pose-pose selfie anak-anak mereka –belum seperti Awkarin, semoga sampai kapan pun, tidak menjadi Awkarin. Jika beruntung tak pegangi gadget mereka sendiri, pose mereka terekam plus tersimpan di gadget teman-teman mereka yang miliki gadget. Sebagian yang lain, mungkin seperti saya, merasa cukup tahu dulu saja dan kembali ke rutinitas sendiri. Mengakrabi dunia sosmed, sesekali menengok ‘diskusi’ yang bertalian di kompleksitas isu sosial berlabel ‘Awkarin’ dan sudah lah, hidup ternyata tak harus selalu tentang ‘Awkarin’.

Terkini, kisah yang melingkupi satu sosok sosmed saya yakini telah kembali menyatukan tiga generasi. Kisruh keluarga seorang sosok motivator terkenal yang acara khususnya sempat merajai pertelevisian Indonesia. Karena permasalahannya masih bergulir dan sedang hangat-hangatnya, saya menghindari penyebutan nama mengingat keterkenalan sosok ini. Benang merah di kisruh internal yang kemudian mengemuka melalui akun-akun sosmed dan kemudian menyebar di kalangan netizen, tentang hubungan keluarga yang seharusnya tak terputus antara orang tua dan anak. Benang merah yang justru terekatkan dengan baik dengan pemutaran restorasi film Tiga Dara, digambarkan di kalimat penutup Yoki Soufyan atas kesan-kesannya terlibat diproses restorasi serta menyaksikan langsung pemutaran perdananya, … film yang baik ternyata dapat menyatukan keluarga, dapat membuat oma-opa-eyang-kakek-nenek-ibu-bapak-anak nongkrong bareng di café, berbincang seru, sampai larut malam!...

Saya bukan follower Awkarin pun sang motivator ulung. Jadi, saya sungguh-sungguh tak tahu apakah mereka berdua menonton Tiga Dara atau tidak.

Jadi, kecil pula harapan saya bahwa jika saja Awkarin seorang putri sulung di keluarganya, tentu tak harus ia berbusana begitu sopan dan berwibawa seperti Nunung. Atau lebih baik lagi, bersikap menjadi ibu pengganti bagi adik-adiknya (atau followernya?). Bahwa akan selalu ada saat di mana kita perlu mendengarkan saran-saran, nasehat-nasehat pihak lain. Tak lebih dan tak kurang, demi kebaikan kita sendiri. Mungkin belum sekarang. Mungkin tidak langsung selepas melangkah keluar dari bioskop dengan pikiran penuh, gerangan nilai-nilai kehidupan seperti apa yang harus saya endapkan dari Tiga Dara?

Digitalisasi Sejarah

Saya berterima kasih pada tim restorasi film Tiga Dara. Di tengah gempuran tontonan serba gratis dan kisah-kisah nyata yang tertebar di akun-akun sosmed, terselip harapan tinggi, masih ada list-list film lawas lain yang menunggu di restorasi. Tak melulu tentang kisah-kisah masa lalu yang berikan rujukan selera fashion yang mungkin bisa jadi trend setter, terbesar bagi saya di antaranya;

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun