“Apa yang kau pahami dari mati?”
Tak segera menjawab, kamu memilih menandaskan kopi hitam.
“Aku selalu tak suka ketika kau memulai hari dengan pertanyaan. Apa harus kujawab?”
Sepasang mata dihadapanmu tak berkedip.
“Aku telah ribuan kali mati. Namun lebih banyak lagi kehidupan baru. Jadi, bagiku, mati hanya satu dari banyak lain proses hidup.”
Satu kedipan. Tubuh yang mematung.
“Aku tak harus memuaskanmu. Yang kau tanyakan tadi pemahamanku.”
“Bagaimana jika istrimu mati. Anakmu?”
“Di titik ini, mungkin sedikit kesedihan seperti seharusnya. Kekosongan beberapa waktu. Tapi, ayolah. Aku sudah punya kau. Takkan ada kehidupan yang benar-benar mati. Pun kematian yang tak berikan ruang bagi hidup.”
Sosok 180 cm, dada bidang dan rambut ikal sepunggung. Alis tebal memadankan sepasang mata bermanik sama hitam. Hidung bangir dengan tebal bibir yang keduanya ideal. Sosok adam sempurna. Entah mengapa, masih juga harus bernama Gagah.
“Aku butuh jus gelas kedua. Kopimu?”
“Apa masih ada pertanyaan lagi? Tolong jangan buat hari ini membosankan..”
“Takkan ada yang bosan.”
“Kau bisa yakin katakan itu! Kau tak menjawab pertanyaan-pertanyaan!” Semburmu.
“Dan kau tak pernah kecewakanku dengan tak menjawabnya..,” Gagah lambaikan tangan. Jus jeruk gelas kedua.
“Double espresso Toraja tanpa gula, tolong ekstra cookies.”
Gagah tertawa lepas. Kamu ketuk-ketukkan jejari di sudut laptop bercover kuning terang. Outline fiksi terbarumu sudah lengkap. Hanya butuhkan pelengkap dua ribu diksi lagi untuk jadikannya utuh.
“Aku sedang berpikir, apa lagi yang harus kutanyakan sampai dua ribu diksimu selesai..,” kini Gagah yang ketuk-ketukkan jejarinya di meja. Tanpa ritme tentunya.
“Tolong jangan rusak moodku. Kecuali sosokmu yang begitu indah, jiwamu sedikit pun tak miliki rasa seni.”
“Aku juga tak bosan nikmati olokanmu yang itu. Setidaknya, setiap bersamaku, ribuan diksi untuk fiksi-fiksimu lahir. Kukira disitulah jiwa seniku. Menjadi sosok inspiratif.”
Kamu memandangi Gagah lekat-lekat. Kamu enggan mengakui kebenaran kalimatnya.
Ping!
“Maaf. See, seharusnya tak kau mulai hari dengan pertanyaan. Aku jadi lupa senyapkan gawai ini.”
“Doktermu?”
Sepasang mata pucatmu gegas bacai pesan.
“Bukan. Istriku kabari ia sudah bersama Suri. Sore ini kami berjanji temaninya les berenang. Suri ingin kami rekam gaya bebasnya dan dua putaran penuh kolam dewasa.”
“Suri terlalu cepat besar. Ah, tapi itu berarti, ia bisa segera menjadi partner di pendakianku berikutnya.”
“Hanya di mimpimu! Takkan ada satu pun puncak yang harus diraih Suri, terutama jika itu bersamamu!”
“Tuhan! Aku bahkan belum ucapkan pertanyaan kedua. Kau sudah seemosional begini.”
“Aku serius Gagah! Tak ada pendakian! Tidak sampai lima tahun ke depan!” Sosokmu yang tipis bergerak maju, pastikan setiap katamu tegas tak terkira.
Kembali tawa Gagah membahana.
“Baiklah, baik. Sekeras apa pun kau berusaha, kau takkan pernah tampak galak seperti yang kau mau..”
“Terserah! Aku ingin mengetik lagi. Kumohon simpan dulu pertanyaan keduamu,” kamu tak menunggu jawaban. Jejarimu telah menari. Kamu abaikan kenangan, ketika sekian ribu hari sebelumnya, jejarimu yang kini menari bahkan tak pernah kamu sadari keberadaannya. Geletar rasa, pun tubuh, kacaukan setiap keberadaan.
***
“Menulislah. Saya percaya setiap kata yang terpilih dan terjalin sebagai kisah-kisahmu, menjadi muara dari semua kenangan buruk.”
Mata pucatmu mengerling dengan sekejap binar melintas.
“Lihat. Ini diarimu. Saat kau memaksa tubuhmu terjaga, alam bawah sadarmu tuliskan banyak kisah.”
“Aku telah lama mabuk mimpi. Pilihlah yang kau sukai. Indah, buruk, aku miliki semuanya. Kisah-kisahku itu bisa jadi sebagian dari mimpi-mimpi itu.”
“Aku juga pernah. Tapi aku memilih hanya sisakan yang indah.”
Suaranya biasa. Kecuali seragamnya yang putih, kulit sawo matangnya yang juga biasa terselamatkan oleh pilihannya kenakan kerudung kuning terang berbunga kecil. Sosok biasa itu singsingkan satu lengan bajunya.
“Setahun lalu, aku sepertimu. Perbanyak koleksi mimpi indah dan buruk, berganti-ganti.Meski tentu saja aku tak mampu sepertimu, tuliskan sebagiannya di diari. Pilihan mengantarku kenakan seragam ini, bicara padamu seperti ini, dan mengajakmu turut memilih.”
“Mengapa kau sukai kuning terang?” Kamu abaikan lengan berbintik coklat yang ditunjukkan sosok biasa itu dan lekati bunga-bunga kecil berlatar kuning terang.
“Oh ini..Kuning terang sering menjadi warna tersisa di pupil mataku. Tubuhku mengingat itu dengan baik. Jadi, ketika aku harus memilih warna, aku mengalah pada tubuhku dan hampir selalu kenakan kuning terang.”
“Apa besok akan kamu kenakan lagi?”
“Tidak. Lemari kerudungku penuh warna ini. Pembedanya hanya bunga-bunga kecil. Besok kukira akan memilih bunga kecil berwarna biru.”
“Ya. Bunga yang ini warna merah. Apa kau sungguh miliki bunga kecil biru?”
“Bagaimana kalau bicarakan kuning terang, merah dan biru di kata-kata diarimu ini?”
Sepasang lengan kurusmu terulur. Diari cover kuning terang di dua tanganmu.
“Aku tak yakin..”
“Kau bisa mencoba. Gunakan ini, mungkin pena yang terpegang tak bisa jejakkan huruf-huruf yang utuh. Tapi jejarimu pasti cukup kuat tekan huruf-huruf yang ini..”
Satu benda lebih besar dari diari diletakkan di depanmu. Masih bercover kuning terang. Sosok itu membukanya.
“Laptop. Kau yakin aku tak menghancurkan benda ini?”
“Sampai saat itu terjadi, aku akan menemanimu ketikkan huruf.”
***
Save. Penerbit besar yang ikat kontrak denganmu akan bahagia. Cerita ketiga dari tetralogimu selesai.
“Setiap suap daging merah tua ini semakin sedap setiap lihat sosokmu begitu,” Gagah semakin mempesona ketika berbicara di sela kunyahnya.
Aku meneguk ludah. Dua sushi di awal pagi tadi terasa lenyap di jonjot ususmu. Ekstra cookies peneman double espresso terlihat kosong, pun gelas mini di sebelahnya.
“Aku sudah pesankan sate vege special favoritmu. Juga dua paket steak terenak resto ini untuk Ratih dan Suri. Mereka juga harus rayakan keberhasilanmu selesaikan fiksimu yang entah sudah berapa judul..”
Seorang pelayan tetiba sudah di sampingmu, letakkan persis menu-menu seperti yang dijelaskan Gagah. Dua lenganmu terlepas dari ikatan di belakang kepala. Gemeretak kecil di punggung isyarat pasti, lemasnya seluruh tubuhmu, terutama jejari. Tubuhmu melapar sangat. Selalu. Sesaat selepas diksi tak terhitung terlepas dari otakmu, mengelindan di kisah-kisah baru.
“Kau beruntung dapatkan Ratih. Gadis yang masih selalu kau pikir biasa. Namun sepertiku, ia telah jadi inspirasi dari semua kisah-kisah fiksimu. Pun lahirkan Suri. Aku masih selalu takjub, bagaimana kalian besarkan Suri dengan begitu sehat..”
“Cukup. Berhentilah di sana. Seluruh dunia sudah paham ujung kalimatmu. Seperti yang Ratih pernah katakan --dan selalu ku ingat dengan baik, kami para mantan pemabuk jutaan ekstasi berhak memilih sisakan indah. Endapkan setiap sisi buruk masa lalu kami..”
“Kalimat-kalimatmu mulai panjang. Kau telah siap jawabi pertanyaanku selanjutnya,” sela Gagah sembari entaskan suapan terakhirnya. Piringnya tandas. Saus terakhir dicelupkan pada buncis, kemudian sama-sama lenyap di mulutnya.
“Maaf bapak, ini billingnya. Silakan ke kasir atau saya bantu bayarkan jika bapak berkenan,” seorang pelayan cantik angsurkan kotak billing padamu.
Melihat sekilas, tak ada menu steak spesial makan di tempat dan dua gelas jus. Selalu begitu. Tapi kamu mulai menerimanya. Berikan uang kontan senilai bill, dua paket bungkusan steak wagyu buat Ratih dan Suri kamu tenteng selepas masukkan laptop dan kosongkan meja. Masih ada buku ke empat yang harus kamu selesaikan. Masih akan selalu ada Gagah yang temanimu, dengan atau tanpa pertanyaan.
*Selong 20 Agustus
Olah diksi ini disertakan di Event Kompetisi Menulis Cerita Pendek #MyCupOfStory dari NulisBukuDotCom.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H