Secangkir kopi dan Dompet Receh Linsi. DokPri
Hai Gana,
Apa kabarmu hari ini?
Semoga cuaca Jerman yang kau akrabi di keseharianmu menyamankan di setiap waktu. Jika sunrise pun sunsetnya tak sempat kau nikmati, akan selalu masih ada sudut-sudut kota yang menarik hatimu. Membuatmu bersemangat jalani dan habiskan dua puluh empat jam di Rabu 4 Mei. Hari ini.
Demi kau tahu, hari ini aku ingin selesaikan lima ratus kata berikutnya dari novel pertamaku, Aluy. Minimal lima ratus kata untuk hari ke-34 dari total 100 hari. Jika bisa kutuliskan, masih ada 66 hari sampai kuselesaikan utuh. Novel yang inginku kisahkan betapa kehangatan satu persahabatan mampu jembatani dan rekat setiap luka, jadikannya cinta. Seperti perkawanan kita. Aku tak berani mengakuimu sebagai sahabat. Tapi kuyakin, hanya belum saja.Â
Dear Gana,
Tulisan pertamaku kemarin masih tuliskan 'Mbak' di samping namamu. Semata menjaga sikap Njawani-ku. Menghargai seseorang yang lebih tua, atau, menghargai seseorang yang kita kenal meski sebatas dunia maya. Nyatanya, aku merasa semakin dekat denganmu karena lahirmu di Semarang, kota yang juga tempat lahirnya suamiku. Pun putra keduaku. Perasaan dekat yang mengental karena kita seumuran. Semoga sama seperti judul salah satu buku yang kau janjikan sebagai hadiah di GA (Give Away) ini, I'm Happy to be 40. Nyatanya, bagiku kau sosok yang sungguh inspiratif. Bacai berulang bio singkatmu di halaman belakang buku Bertahan Di Ujung Pointe, kau seorang penari. Setiamu tuliskan banyak hal di portal jurnalis warga bernama Kompasiana ini, nyatamu sebagai penulis. Oh, ada lagi. Penguasaanmu pada beberapa bahasa asing, kini mengantarmu pada tugas keseharian, ajarkan bahasa bumi pertiwi pada penutur bahasa Jerman. Negeri tempatmu bermukim kini.
Hai Gana,
Lagi-lagi demi kau tahu, meski sungguh terinspirasi, aku yakin aku tak mau bisa menari. Meski tutorial tarian apa pun sudah begitu mudah ditonton di kanal video gratisan. Aku masih ingin kuatkan otot kaki dan ketabahan hatiku, jajaki banyak puncak dataran di atas 3000 mdpl. Ingin sekali lakukan sujud ke dua di Puncak Anjani Rinjani 3726 mdpl. Kali ini, doa lirihku ingin sebutkan nama ayahku. Berharap hari tuanya sebahagia ketika ia lafalkan adzan di kelahiran aku dan lima saudaraku lainnya.Â
Namun, ya, aku ingin selalu terinspirasi oleh semangatmu menulis. Beberapa minggu lalu, sepertimu yang candui Tuman Headline di banyak tulisanmu yang inspiratif, aku pun sempat candu lahirkan tulisan-tulisan bernas bermuatan Headline. Nyatanya, label itu hanya bonus. Porsi terbesarnya adalah konsistensi menulis itu sendiri. Genre apa pun, fiksi non fiksi, reportase atau opini, prinsip dasar 5W1H (Siapa, Apa, Mengapa, Dimana, Kapan dan Bagaimana) yang terjalin di olah ratusan pun ribuan diksi rumus abadi jadikan tulisan kita dinikmati pembacanya. Seperti aku nikmati tulisan-tulisanmu, selama lima tahun menjadi Kompasianer.
Maaf Gana,
Seperti yang aku tinggalkan di kolom komentar postingan GAmu ini, ijinkan aku nodai tulisanku tentangmu dengan curcolku yang amat sangat kekinian. Tuntaskan penasaranku yang lepel dewa, tentang selalu gagalnya tambahkan foto di dalam tulisan. Jadi, inilah aku, mencoba ulang. Kali ini, dua ukuran foto yang aku unggah kemarin, aku tambahkan dari Image Gallery. Hanya klik tanda Tambah berwana biru pada koleksi foto di galeri kita. Lengkapi isian dan pastikan apakah foto yang kita pasang koleksi pribadi atau meminjam dari sumber tertentu. Bantu aku dengan doa ya Gana. Semoga kali ini ikiarku berhasil.
Jadi Gana,
Meski kita berdua remaja generasi 90-an, semoga suratku ini tak bosan kau bacai sampai titik terakhirnya. Tulisanku yang kemarin kuanggap cukup berhasil mengekor caramu menulis. Ringan aku ketikkan kata-kata perlambang tawaku yang lepas. Jenis tawa yang kuyakin milikmu. Tawa yang akan kita lakukan bersama. Nanti. Suatu hari ketika kita berjodoh rezeki waktu dan kesempatan. Bertemu di Semarang. Mungkin sambil telusuri keindahan Vihara Sam Po Kong. Atau berpose selfie di cantiknya gedung Lawang Sewu. Ah iya, kita harus makan siang dengan sepiring Tahu Gimbal. Aku akan ambil resiko asmaku kumat karena kuah sambal kacang tanahnya yang kental. Kemudian, suffer atau brunch dengan semangkuk Soto Ayam Pak No. Lumpia, kue Moci dan wingko babat lezat merk Kereta Api yang kita beli di Kota Lama Semarang. Di sana juga ada Gereja Blenduk. Selepas foto-foto klasik, kita bisa berbincang ringan di taman sampingnya.
Jika kita tak bertemu di Semarang, mungkin suatu hari nanti kau lah yang datang ke Lombok. Kita abaikan cobai Ayam Taliwang dan pelecing Kangkungnya. Rasa pedasnya mungkin tak cocok bagi lidah Jawa dan Jermanmu. Tapi masih ada Sate Pusut, daging sapi yang sudah dihaluskan bercampur santan kental, rempah-rempah dan irisan halus daun jeruk akan bisa diterima lidahmu. Juga sayur Ares, cacahan kecil batang pohon pisang muda yang dimasak dengan kuah santan bersama paduan bumbu plus rempah khas Lombok. Peredam efek santan yang tak baik bagi kita yang seumuran, ada sayur bening daun kelor. Tak suka? Masih ada sayur kacang kedelai hitam, atau kami orang Sasak menyebutnya sayur Lebui. Kali ini kau harus coba Ayam Taliwang bakar atau goreng. Sekali lagi, abaikan dulu dua macam saus sambalnya atau beberok terong ungu pun pelecing kangkungnya. Kecuali jika kau ijinkan aku racik sendiri bumbu sambal tomat segarnya, aku pastikan lepel pedasnya termaafkan. Bagaimana pun, lidahku yang puja pedas sudah cukup bekerjasama dengan lepel pedas Semarang, karena sudah pernah tinggal di sana hampir sepuluh tahun.
Baiklah Gana,
Rasa-rasanya suratku jadi terlalu panjang. Aku khawatir kau bosan. Kecuali ingin kau terbitkan jadi buku, tentu masih bisa aku panjangkan lagi.
Baik-baiklah di sana.Â
Aku, teman barumu yang ketika surat ini kutulis, aku sedang di kota Selong Lombok Timur.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H