“Aku tak tahu mas. Aku sungguh tak tahu,” sekian detik hanya bertatapan dalam diam, aku katakan apa yang kurasakan di dua minggu terakhir.
“Masih mau ikuti caraku? Kita akan tetap pulang di lebaran nanti. Kita akan undang Ranti dan keluarganya ke rumah. Tiwi juga mau ikut. Tiwi bisa temani anak-anak berenang sementara kita, Ranti dan suaminya sesap kopi favorit kita. Oia, akan ada Galih…”
“Galih? Ia juga akan datang? Ibu yang bilang ke mas?”
“Bukan. Bukan ibu. Aku menelpon Paman Muis. Lama. Kemudian aku dapatkan no Galih. Kami juga berbicara cukup lama.”
“Apa Galih membenciku? Ibu bilang…”
“Tidak. Galih percaya kematian bapaknya bukan karenamu.”
“Kenapa tak pernah mau temuiku?”
“Bukan Galih yang tak mau. Galih menghormati batasan yang diminta ibu…”
“See…Ibu membenci…”
“Tidak. Tak ada yang dibenci ibu. Ibu hanya kesulitan, mm belum temukan cara menyayangimu. Ya, aku yakin begitu.”
“Mas yakin?”