Mantap anggukkan kepala, beranjak dari simpuhnya mas Bagas kecupi keningku.
“Sekarang, aku butuh lattemu yang lezat dan kupikir menyesapnya di dapur akan lebih nikmat. Bagaimana?”
Belum tengah malam. Langit di atas Jogja masih terang. Di meja dapur, aku dan mas Bagas tak lagi bicarakan apa pun tentang keluargaku. Berpindah ke ruang keluarga, layar led lebar kami koneksikan ke internet. Video-video singkat kontes menyanyi terputar acak. File-file film terbaru terputar setengah, berpindah ke film lainnya. Malam itu kami terlelap di ruang keluarga, latte di mug tersisa setengah.
***
“Mas Bagas sudah berbicara dengan Galih. Kita akan berkumpul di rumah lebaran nanti. Kalau suamimu ijinkan, aku ingin kalian menginap. Semalam pun cukup.”
“Alhamdulillah. Akan aku usahakan.”
“Bawa baju renangmu ya. Kita akan berenang bersama anak-anak.”
“Siap kakak. Biru tosca lagi?”
“Siapa takut. Baper plus puasa sebulan sudah enyahkan lemak dari tubuhku.”
Telpon panjang bersama Ranti berujung pada tawa ringan dan lepas. Tak ada yang harus kutakutkan. Pertemuanku dengan Ranti telah endapkan banyak kehangatan. Aku masih bisa berharap dapatkan kehangatan yang sama dari Galih.
--Bersambung--