Mohon tunggu...
Muslifa Aseani
Muslifa Aseani Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Momblogger Lombok

www.muslifaaseani.com | Tim Admin KOLOM | Tim Admin Rinjani Fans Club

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Berapa Pohon yang Tumbuh dari Tanganmu?

22 April 2016   11:21 Diperbarui: 22 April 2016   11:53 162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="DokPri: Sunset di ujung musim kering, tanjakan Mbahu Rihu Dompu NTB. Dok.pri"][/caption]"Jan, enaknya dibuat oval, bulat atau kotak ya?"

"Tahun lalu kita sudah buat yang kotak. Tahun ini oval saja bagaimana? Eh, itu kata 'safe'nya salah kali Mblung. 'Save'."

"Crewet!"

"Ya maaf si, secara bisa bahasa inggris..."

"Crewet!" Mbilung kerucutkan mulut namun tetap nanar pandangi gambar di monitor 14".

"Langsung kita print dan cetak ya. Siang ini juga undangan seminar sudah harus diedarin. Aku ke kampus-kampus bagian barat kota, kamu yang timur. Itu anak-anak baru diculik saja dari kelasnya."

Tiga pekan lagi seminar lingkungan hidup dari komunitas pecinta alam kami. Nyatanya, berbarengan dengan pekan mid tes, cuma aku dan Mbilung yang sibuk sendiri. Stiker kegiatan, surat-surat undangan, dibuat, cetak, edarkan berdua. Aku dengan tunggangan scoopy merah darah. Mbilung dengan honda 70 bercat sama. 

***

"Anjani! Jan!"

Setengah berlari aku menghampiri Mbilung. Panggilan yang sangat tidak sopan. Meski selalu kenakan flanel, padu padan dengan tanktop dan warna jeans pensil senada tetap utuhkanku menjadi salah satu perempuan cantik di kampus biru ini.

"Teriak-teriak begitu jangan panggil Jan dong! Ngrusak pencitraan tau!"

"Halah, yang naksir kamu paling juga maba brondong nyasar. Nyasar dan mabok karena tertipu pencitraan cewek kamu yang gagal!"

"Jidatmu Mblung! Apa'an teriak-teriak?!"

"Cabut yuk! Bibit-bibit pohon buat seminar disuruh ambil sekarang. Njing! Jam segini ndak ada anak baru yang bisa diculik."

"Mbawanya? Tangan aku patah kalau harus nenteng dan mbonceng motor butut kamu Mblung. Eh, ambil mobil dirumahku aja yuk. Lumayan bisa muat banyak."

"Nah. Kalo gini, kamu memang perempuan tercantik di kampus...," Mbilung menyeringai lebar.

***

"Jan! Mulai hari ini kamu aku antar jemput ke rumah. No protes! Pagi dan sore kita sirami bibit-bibit pohon. Nggak lucu kalau pas hari H seminar, bibit yang ditanam pas pembukaan kering kerontang. Di luar itu, kita harus follow up pendanaan dan pesanan ini itu."

"Mbilung, kenapa aku terus si? Ya iya aku itu wakil kamu, tapi kan masih banyak kawan-kawan lain. Tuh anak-anak baru sudah sanggup menginap di sekret buat seminggu ini," keluh dan protesku yang panjang kali lebar tak usik keteguhan Mbilung.

"Jan...Aku mau kamu jadi ketua di regenerasi tengah tahun nanti. Seminar ini kesempatan buat kamu show off. Anjani nggak cuma cantik. Anjani mampu aktif dan sanggup lakukan kegiatan apa pun."

"Kenapa bukan kamu Mblung? Kita seangkatan. Kawan-kawan kampus lain lebih suka sama kamu. Aku cewek. Banyakan susahnya. Gak bisa begadang terus-terusan, aku juga benci perokok, ogah nimbrung di lingkaran penikmat air dewa. Aduh Mblung, nggak deh!"

"Nggak! Harus kamu! Ingat mimpimu jadikan organisasi kita bersih dari rokok dan air dewa? Ini kesempatan kamu! Tanpa rokok dan air dewa, manusia tak mati!"

"Kamu yakin akan dukung aku buat bersihkan sekret dari asap rokok dan alkohol?!"

Anggukan mantap dan sorot tajam mata coklat Mbilung bangun percaya diriku.

***

Seminar lingkungan hidup organisasiku sukses. Eksekutif nomor satu pemerintah mau datang dan pasang badan jawabi pertanyaan klasik dari para aktivis lingkungan. Kehadirannya diekori pewarta cetak yang tersebar ke seluruh negeri. Lima bibit pohon tertanam dengan foto penanaman terpasang di halaman-halaman depan portal online pun cetak. 

Gurat jingga tipis sisakan senja yang hening. Tiga rakaat maghrib belum ucapkan salam penutup. Namun, di satu tanah lapang terdekat dari sekretariat, lingkaran dari belasan tubuh bertelanjang dada sudah edarkan gelas-gelas kecil. Bukan sesapan pertama. Ruang seminar sudah kembali lapang seperti sebelumnya. Kawan-kawan yang lelah masih anggap air dewa penangguh letih terbaik. Badan yang lelah plus otak terkuasai alkohol, akan berikan tidur tanpa mimpi. Mbilung satu dari belasan tubuh bertelanjang dada.

'Kamu bilang akan antar jemput aku di seminggu ini. Aku pulang sendiri saja bagaimana? Masih tak perlu kunci kan untuk hidupkan motormu?' Beberapa kali miskol dan satu sms panjang. Dari jauh, Mbilung tampak tertunduk. Yes! Ia masih bawa HPnya di lingkaran itu.

Lakukan gerakan minta maaf, Mbilung tampak beranjak. Protes keras dari kawan-kawan lintas kampus dibalasnya dengan kembali tangkupkan dua tangan di dada. Mbilung hampiriku dengan tubuh oleng.

"Sori Jan! Aku ingat janjiku. Tapi, kamu yang di depan ya. Aku nggak mau badanmu lecet cuma gegara kita nyangsrang masuk got..."

"Ih, mulutmu bau Mblung! Minum apa sih?"

"Halah Jan! Pake nanya juga. Motornya mana sih?" Lucu lihat Mbilung yang teduhi sepasang matanya, jelalatan pastikan posisi motornya terparkir.

"Udah malam woi! Tutupi mata begitu, makin gak ngliat apa-apa lagi lah!" Kekehku berebutan dengan kalimat yang kuucapkan.

"Udah, aku pulang sendiri saja. Atau motormu terpaksa menginap dirumahku. Gak mungkin aku biarkan kamu balik dan tetep nyangsrang ke got sendirian."

"Ya udah, kamu bawa motorku aja ya Jan. Tolong dimandiin sekalian. Biar kalian saingan cantik berdua," Mbilung tersenyum lebar. "Aku balik ke situ ya. Sorry, ntar kalau kamu jadi ketua, aku akan bawa lingkarannya menjauh sepuluh kilometer dari sekret kita. Aku janji!"

Tak menunggu jawabanku, tubuh oleng Mbilung berbalik, genapi lingkaran yang tadi sempat kosong di satu titik.

***

Mumpung wiken, aku memilih bangun siang. Kuliah rutin dan ekstra usaha sukseskan seminar yang kugawang berdua Mbilung masih berbaik hati tak sisakan tubuhku pada sakit. Seminggu lagi, panitia inti akan rayakan kesuksesan dengan mendaki bersama. Jadi, sisa satu hari minggu kupikir layak diperoleh tubuhku yang lengket di kasur.

Pilihan yang gagal.

"Aduh Mblung...Pake acara ke sini segala. Aku masih ngantuk!" Setelah menguap lebar, tubuhku rebah dan pejamkan mata. Lelap dan meringkuk di kursi teras sepertinya tak masalah.

"Sori Jan. Tadinya kupikir aku juga bakal terbangun nanti sore. Tapi aku sungguh tak enak hati dengan kejadian semalam."

"Nggak enak dimananya?" Tak perduli nafasku bau atau tidak, aku menguap lagi selebar-lebarnya di samping Mbilung.

"Aku sudah janji akan dukung kamu jadi ketua, nyatanya aku juga tetap duduk di lingkaran yang kamu benci."

"Terus?!"

"Kupikir, aku keluar saja dari organisasi..."

"Hah?!! Keluar?!! Kamu gila!" Sekarang, aku telah sepenuhnya bangun.

"Sebentar, maksudku, aku akan pastikan kamu jadi ketua dulu. Pastikan aturan-aturan baru ruang sekret bebas asap rokok dan air dewa diterima. Nah, baru setelah itu aku keluar. Gimana?"

"Jidatmu! Darimana bisa yakin pasti aku yang akan terpilih jadi ketua! Trus,kamu keluar, nggak bakal lagi ada teman kita yang minum dan mabuk?! Pada tobat dan buang rokok semua?! Nggak kali Mblung!"

"Ya memang nggak Jan! Tapi, paling nggak aku benar-benar tak lagi harus duduk di lingkaran itu. Tak lagi harus pura-pura hisap rokok saat ada kawan lain yang maen ke sekret...," Mbilung yang gondrong, Mbilung yang gagah dengan tubuh tegapnya yang tinggi, Mbilung yang terpaksa minum dan merokok demi hormati orang lain.

"Lihat aku! Kita masuk organisasi ini tadinya buat apa? Karena kita merasa kita bisa lebih mencintai alam kan? Meski nyatanya kita cuma sibuk pamer taklukkan puncak gunung ini, itu, kita sendiri masih berhitung. Berapa pohon yang kita tanam di setiap pendakian kita. Berapa pohon yang ditanam di setiap seminar, rapat anggota, atau pas sekret justru sedang sepi karena kawan-kawan sedang mudik? Berapa Mblung? Kamu mau keluar dari itu? Mau hentikan angka-angka yang kita hitung?!"

"Itu..."

"Ya! Memang karena itu aku masih selalu mau kamu suruh ini itu. Mau ciumi mulut bau kamu karena asap rokok dan alkohol..."

"He??!! Kapan kita ciuman?"

"Jidatmu! Maksudkku pas kamu ngomong semalam, jarak semeter pun sudah penuh bau rokok dan alkohol!" Tak saja berucap, aku sungguh-sungguh menjitak dahi Mbilung.

"Berhitung pohon yang kita tanam? Ah ya, aku lupa yang itu. Aku terlalu merasa bersalah semalam," manggut-manggut sendiri, Mbilung abaikan wajahku yang memanas tiba-tiba. 

"Ya. Kita akan teruskan hitungan pohon yang kita tanam. Aku baru nyadar, otakmu ternyata cantik juga. Eh, motorku mana? Pasti belum cantik. Yang mau disaingi cantiknya saja masih bau iler dan muka bantal..." Mbilung mencari-cari posisi parkir motornya.

"Jidatmu!...."

"Heit, jidatku masih perawan. Kecuali kamu mau memerawaninya dengan satu kecupan, jidatku sungguh terbuka lebar..."

Teras rumahku di minggu pagi jelang siang, riuh oleh kekehan tawa Mbilung yang pegangi dua tanganku. Bergelut teruskan niat jitak lagi jidatnya.

Aku dan Mbilung masih sibuk tambahi angka-angka pohon yang sudah, pernah dan akan kami tanam. Cinta dan sayang kami telah tertanam pada akar-akar pohon. Membantunya menjulang langit. Teduhi tanah. Penuhi oksigen di udara.

*Selong 22 April

Olah diksi ini perwakilan ucap pada Hari Bumi.

Bumi yang telah berhitung, masihkah hari-harinya sepanjang seharusnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun