[caption caption="DokPri: Ujung Kemarau di desa Kempo Dmpu NTB."][/caption]Baiq terpisahkan paksa dengan keluarga kandung ibunya sendiri. Mengapa?
(Epilog Aluy 29)
“Kamu tidurlah dulu. Terimakasih telah menemaniku semalaman begini.”
“Tak masalah kak. Aku ingin memastikan kak Putri baik-baik saja.”
“Aku masih tak baik, tapi kamu juga harus tidur. Kan ada mas Bagas.”
“Yakin tak ada lagi yang kak Putri tanyakan?”
“Aku tak bisa mengingat harus tanyakan apa lagi. Dan aku juga tak yakin apa Lebaran nanti harus ke sini lagi…”
“Aku tak tahu harus bilang apa… Tapi aku yakin, keluarga besar kak Putri lainnya pasti masih mengharapkan kedatangan kak Putri sekeluarga. Atau mungkin keluarga Galih? Pertemuan pertama?”
“Aku tak tahu Ran,” bahuku luruh lagi. Tanpa isak, pipiku kembali menganak sungai.
“Sssshhhh,” lirih Ranti berusaha menenangkanku. Tak tertolak, kepalaku tenggelam di pelukan hangatnya. Di sisi kanan, mas Bagas usap-usap punggungku.
Aliran kehangatan dua orang terdekatku, saat ini, menjenakkan tubuh dan hatiku dari luka. Aku tak tahu kapan Ranti beranjak ke kamarnya. Ketika akhirnya berkemas untuk pulang dan terbang ke Jogja keesokan paginya, cerita-cerita tak terkatakan, terbilang pada tatapan dan pelukan hangat. Aku semakin yakin, Ranti akan selalu ada untukku. Dalam sakit. Dalam bahagia.
***
Hampir sepekan lebih usai kejadian itu, tak ada sms dari ibu. Aku sendiri memilih berkubang, kembali, pada luka hatiku. SMS dan chat-chat Ranti kubalas seperlunya. Mas Bagas pun memilih hanya menemaniku dalam diam. Kesibukan siapkan menu berbuka, sholat sunnah Tarawih dan Tadarus bersama anak-anak yang semakin fasih temani membaca Al-Quran, tak berikan ruang untuk bicarakan label pembunuh yang diucapkan ibu. Sesekali, ketika mas Bagas tertidur, aku terbangun sendiri. Aku telah menjadi ibu dari tiga manusia kecil. Seperti aku yang tak bisa memilih terlahir dari rahim siapa, tiga anak-anakku juga sama. Aku tak tahu perjuangan seperti apa yang ibu lewati saat lahirkan dan besarkanku. Dua alasan itu kujadikan penambal luka. Tak ada anak yang mau disebut sebagai pembunuh ibunya.
***
Assalamu’alaikum nak Putri, saya diminta ibu mengingatkan agar Lebaran nanti tetap pulang. Ibu juga sudah minta tolong nak Bagas untuk sampaikan hal yang sama.
SMS dari nomor Paman Muis. Sepuluh hari lagi menjelang Lebaran. Apa harus kuberitahukan ke Ranti? Tapi, masalah terbesarnya bukan pada persetujuan atau penolakan Ranti. Ini tentang aku dan ibu.
“Assalamu’alaikum mas, maaf menelpon di jam kerja begini. Apa benar ibu meminta mas dan kita nanti tetap pulang saat lebaran?” Meski telah berusaha sangat keras, getar suaraku tak tersembunyikan.
“Wa’alaikumsalam, kamu itu, tentu saja kamu boleh menelponku kapan pun. Oh, itu? Iya. Maafkan aku ya. Aku melihatmu masih sangat sedih, jadi ku pikir akan kuberitahukan jika kamu sudah siap.”
“Apa kita akan pulang?” Sangsi yang kental.
“Aku akan ikut pilihanmu Put. Wait, kita berbuka di luar yuk? Aku akan pulang awal dan jemput kalian. Bibi Ratmi diajak sekalian.”
Persetujuan yang lebih karena kegamangan, apa iya aku tetap pulang, apa iya aku tak harus pulang.
Assalamu’alaikum Baiq. Sorry nih melanggar kebiasaan kita berdua. Aku sedang tak puasa di seminggu terakhir. Well, bukan itu. Maksudku, tiga malam berturut-turut aku memimpikanmu meninggal. Kalau semalam, aku masih percaya kamu terlalu kenyang saat berbuka. Tapi karena tiga malam terus-terusan, aku jadi tak tahan buat tak bertanya. Masih hidup kan? Jawab yang cepat ya. Aku beneran khawatir.
Baru saja letakkan HP, chat panjang dari no Aluy muncul. Aku tak bisa benar-benar pastikan, sedalam apa kubang lukaku, sampai pun tak bisa bedakan senyum dan tangis. Ujung bibirku melebar, namun mataku basah. Iya Al, aku masih hidup. Hanya saja, ibuku menyebutku pembunuh. Kecuali pamanku yang mati, aku dan ibu masih hidup.
Alhamdulillah Al, masih hidup nih. Iya, kebetulan kekenyangan terus. Biasa, PMS nggak jelas. Badan emak-emak selalu menggajah, meski Cuma minum seteguk. Ini aku baru batal pertama. Tenang, kalau pun mati, kupastikan mas Bagas akan kabarimu paling awal.
--Bersambung--
*Selong 22 April
Rangkaian cerita sebelumnya:
Olah diksi ini meramaikan Event Tantangan 100 Hari Menulis Novel Fiksiana Community Kompasiana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H