Mohon tunggu...
Muslifa Aseani
Muslifa Aseani Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Momblogger Lombok

www.muslifaaseani.com | Tim Admin KOLOM | Tim Admin Rinjani Fans Club

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

[100 HariMenulis Novel] #21 ALUY

7 April 2016   10:47 Diperbarui: 7 April 2016   11:12 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Euphorbia Merah nan hangat. DokPri"][/caption]

Baiq dan Ranti mulai dapatkan fakta-fakta baru tentang hubungan mereka berdua. Kecintaan luar biasa mereka pada sosok bapak, mampu membuat mereka saling menerima. Bagaimana dengan ibunya Baiq?

(Epilog 20)

Tak banyak lagi yang bisa kami bicarakan. Aku dan Ranti bersama masih butuh waktu. Jika memang ada banyak lagi kisah masa kecil kami, terutama kebersamaan bersama bapak almarhum, entah itu yang disembunyikan pun yang terkatakan. Kami akan selalu punya waktu temukan semuanya. Belum sekarang. Tapi pasti suatu hari nanti.

“Jika mau, kunjunganmu berikutnya tak harus bersama ibu,” ungkapku lugas. Sesaat selepas rengkuh Ranti dan ciumi ringan kedua pipinya.

Sendiri antarkan mereka ke bandara demi kembali ke Lombok, ibu masih memilih menyendiri dengan bacaannya. Sesekali timpali celoteh Gendis dan Gio.

“Iya, pas pulang sekarang aku baru ingat. Kita tak berbincang bertiga. Atau ibu memang seorang yang pendiam?” Dengan wajah lucu Ranti timpali tanyaku.

“Mmmhhh, kita harus ngopi bareng lagi untukku bisa ceritakan sifat-sifat ibu,” senyumku melebar.

“Ya, tentu. Tapi lain kali tak perlu buatkan aku cappuccino cantik. Sebenarnya favoritku kopi hitam tanpa gula,” senyum Ranti tak kalah lebar.

“Kamu itu, hobi tak bilang apa pun yang kamu suka dan tak suka di awal,” sembari usap lengan Ranti, aku mengerling ibu. Bergeming pada buku bacaannya, ibu terlihat begitu nyaman di dunianya sendiri.

“Aku sangat ingin senangkan kak Putri. Jadi, apa pun yang kakak tawarkan, kupastikan jadi pilihanku juga. Ah, sudah harus check in pula.”

“Tolong sampaikan terimakasihku pada mas Bagas. Semoga lain waktu kak Arya bisa bergabung. Jadi mas Bagas juga dapatkan partner ngobrolnya.”

“Siap adikku cantik…”

Dua pasang mata kami berbinar saling tatap. Aku menyukai Ranti. Mulai menyayanginya tak perlu menunggu.

***

See, garis senyum kami sangat mirip. Tanpa harus beritahukan, siapa pun akan yakini dia adikku. Iya kan Al?

Iya saja lah. Kamu itu kalau sudah senang begini, pertanyaanmu sangat retoris. Sejuta kali pun aku pastikan itu pernyataan, kamu tetap yakin itu pertanyaan.

Al, I’m using question mark. Itu harga mati kalimatku adalah pertanyaan.

Iya saja lah, biar cepet. Hahahahaha…Tapi iya koq, kalian memang sangat mirip.

Nah. Kan sudah kubilang dari tadi.

Ya ya ya, ada yang mengakui tanda tanya bukan harga mati sebuah kalimat tanya…

Emotikon tertawa ngakak sampai menangis berderai berlomba aku dan Aluy ketikkan.

Aluy begitu mengenalku. Ah, masih setahun berselang baru bisa usahakan bertemu bersama. Aku, Ranti dan Aluy. Seingatku, sosok baru mana pun yang baru ku kenal dan kemudian kusenangi, akan selalu diterima Aluy. Ini Ranti. Adikku. Aluy pasti akan sama menyukainya. Sepertiku.

***

“Umi, ini Baiq. Anak Praya ngakunya.Padahal rumahnya di pinggiran kota,” Aluy kenalkanku pada uminya. Berhadapan langsung begini, tak mungkin cubiti pinggang Aluy.

“Oh, manggilnya Baiq ya. Terimakasih ya sudah temani dan antar Alawiyah sampai ke rumah. Alawiyah juga ceritakan, kamu selalu menemaninya dari kost sampai ke kampus,” umi Aluy menyapaku dengan ramah dan hangat.

“Tidak apa-apa Umi, kebetulan saya juga sendirian. Jadi justru saya yang harus berterima kasih sudah ditemani terus,” aku juga tak mengalah. Fakta aku terus yang memaksa Aluy di kursi samping, membuatku nyaman setiri mobil sejauh mana pun.

“Yang penting hati-hati ya. Kalian berdua perempuan. Kalau memang tak penting sekali, sebaiknya sudah pulang dari kampus sebelum waktu Ashar. Atau paling telat jam lima sore. Sudah, diteruskan ngobrolnya ya. Umi mau teruskan memasak dulu.”

Kunjungan pertamaku ke rumah Aluy di libur panjang pergantian semester pertama. Uminya berkeras aku harus makan siang dulu sebelum menyetir sendiri, kembali ke Lombok Tengah. Terbiasa buat sendiri penganan basah bagi anak-anaknya, dua loyang kue lapis resep rumahan juga harus kubawa, pun beberapa kilo empat jenis buah berbeda. Penolakanku tak digubris Aluy. Sambil tertawa-tawa, ia membantu memasukkan semua bingkisan yang disiapkan uminya ke mobilku.

--Bersambung--

*Selong 7 April

Rangkaian cerita sebelumnya: ALUY - Bab 1: KEPERGIAN.

Olah diksi ini meramaikan Event Tantangan 100 Hari Menulis Novel Fiksiana Community Kompasiana.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun