Aluy begitu mengenalku. Ah, masih setahun berselang baru bisa usahakan bertemu bersama. Aku, Ranti dan Aluy. Seingatku, sosok baru mana pun yang baru ku kenal dan kemudian kusenangi, akan selalu diterima Aluy. Ini Ranti. Adikku. Aluy pasti akan sama menyukainya. Sepertiku.
***
“Umi, ini Baiq. Anak Praya ngakunya.Padahal rumahnya di pinggiran kota,” Aluy kenalkanku pada uminya. Berhadapan langsung begini, tak mungkin cubiti pinggang Aluy.
“Oh, manggilnya Baiq ya. Terimakasih ya sudah temani dan antar Alawiyah sampai ke rumah. Alawiyah juga ceritakan, kamu selalu menemaninya dari kost sampai ke kampus,” umi Aluy menyapaku dengan ramah dan hangat.
“Tidak apa-apa Umi, kebetulan saya juga sendirian. Jadi justru saya yang harus berterima kasih sudah ditemani terus,” aku juga tak mengalah. Fakta aku terus yang memaksa Aluy di kursi samping, membuatku nyaman setiri mobil sejauh mana pun.
“Yang penting hati-hati ya. Kalian berdua perempuan. Kalau memang tak penting sekali, sebaiknya sudah pulang dari kampus sebelum waktu Ashar. Atau paling telat jam lima sore. Sudah, diteruskan ngobrolnya ya. Umi mau teruskan memasak dulu.”
Kunjungan pertamaku ke rumah Aluy di libur panjang pergantian semester pertama. Uminya berkeras aku harus makan siang dulu sebelum menyetir sendiri, kembali ke Lombok Tengah. Terbiasa buat sendiri penganan basah bagi anak-anaknya, dua loyang kue lapis resep rumahan juga harus kubawa, pun beberapa kilo empat jenis buah berbeda. Penolakanku tak digubris Aluy. Sambil tertawa-tawa, ia membantu memasukkan semua bingkisan yang disiapkan uminya ke mobilku.
--Bersambung--
*Selong 7 April
Rangkaian cerita sebelumnya: ALUY - Bab 1: KEPERGIAN.
Olah diksi ini meramaikan Event Tantangan 100 Hari Menulis Novel Fiksiana Community Kompasiana.