Muslifa Aseani, No. 02.
Â
Wahai hujan, jika doa terlantun di sekian istisqa’ kami memanglah belum beroleh jawab, teknik apalagi yang harus kami tera pada jiwamu, untuk bersegera basuh segala rupa kering di bumi?
Merupalah segera di depan kami. Merupalah di segarnya tetesmu di setiap pori-pori kami. Tanah, dedaunan di ranting kering, genting-genting yang mengatapi manusia yang tak lagi merasa teduh, pun berbagai daging yang rindui basahmu nan segar.
(Note FB saya: Mengapa Tak Juga Turun, Hujan?).
Â
Satu Pagi
"Bundaaaaa..Kita boleh maen hujan yaaaaa..." Yusuf Alfa (Afa) si lima tahun yang tambun teriak-teriak ndak penting dari atas sadel sepedanya.
"Belum boleh Faaaaa..Ini hujan pertama. Masih ada debu letusan gunung Rinjani. Bahayaaaaa.." Salwaa kakaknya, juga dari atas sadel sepeda miliknya, berteriak tak kalah kencang.
Aku hanya mengerling dari depan monitor, bacaan sore ini banyak yang belum selesai. Tebaran link di banyak jendela tak berhasil temukan rujukan selera humor yang kuinginkan. Meski komedi, fikber di K harus tetap bernas. Inginku.
Riuh cekakak Salwaa dan Afa di halaman memaksa leherku berpaling dari monitor dan jenakkan bacaan..