Mohon tunggu...
Muslifa Aseani
Muslifa Aseani Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Momblogger Lombok

www.muslifaaseani.com | Tim Admin KOLOM | Tim Admin Rinjani Fans Club

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

[Fabel] Monyet, Kura-Kura dan Baru Jari

7 November 2015   14:29 Diperbarui: 7 November 2015   15:36 489
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gunung Baru Jari di Rinjani, gunung tertinggi pulau Lombok meletus. Lagi. Kali ke lima di 30 tahun terakhir. Debu tak terhitung tersebar ke beberapa penjuru angin. Desa, kota, kebun dan hutan. Got di kompleks perumahan, pun sungai-sungai tak terjamah jauh di tengah hutan.

Tegodek, seekor monyet dari ribuan monyet di seantero Lombok gelisah. Tabir malam yang pekat panas sangat, apalah lagi ketika terik siang. Mendekam di rimbunan daun pohon yang ditinggalinya tak banyak menolong. Ingin berendam di sungai, harus berebut dengan manusia, beberapa generasi bebek milik manusia pun gonggongan anjing, para penjaga manusia. Tegodek Beleq, pemimpin rombongan keluarganya mendengar desas-desus, di ujung timur cuaca masih agak ramah. Panas penghujung kemarau yang disempurnakan oleh debu vulkanis Baru Jari, belum sentuh apapun di bagian timur sana. Tegodek tak akan berpikir dua kali, jika seluruh keluarganya harus bergerak kesana, bersama-sama dipandu Tegodek Beleq.

Akhirnya di satu pagi yang sama gerahnya dengan 12 siang, keluarga besar Tegodek bergerak ke timur.

Entah karena terlalu lelah bergerak seharian, Tegodek dan semua keluarga besarnya lelap tertidur di hutan yang baru. Uap segar dari sungai yang jauh di dasar pokok pohon kayu yang mereka tempati sungguh membuat dedaunan begitu dingin dan sangat nyaman.

Kokok ayam hutan yang akrab di indera dengar Tegodek masih tak ada, namun Tegodek telah begitu hidup. Suara sesuatu, seperti air yang mengalir deras. Tapi pasti bukan. Menjelang maghrib semalam, sungai di bawah pokok pohon sangat tenang. hampir tak beriak. Lantas, suara apa? Tidur yang begitu lelap dan nyaman tak bisa membuat Tegodek memaksakan matanya terpejam lagi. Hari masih gelap, namun suara air itu seperti menggerakkan syaraf-syaraf kaki dan tangan Tegodek untuk mencari tahu. Perlahan, bergerak dari dahan ke dahan, Tegodek ikuti insting ke sumber suara.

Persis di kokok ayam hutan pertama, Tegodek sampai. Kumpulan air seluas dua mata memandang. Semburat mentari yang begitu dikenalnya di hutan lama, menyembul perlahan dari tepi terujung. 

'Sungai apa ini? Atau inikah yang disebut laut di cerita-cerita ibu? Tapi mengapa ini mentarinya justru keluar? Di cerita ibu, mentari justru bergerak ke peraduannya. Hilang dibalik tepi air terujung. Mengapa ini berbeda?'

Begitu banyak pertanyaan tak terjawab.

'Ehm!'

Begitu terkejutnya, pegangan Tegodek hampir terlepas. Namun refleks ekor panjangnya meraih dahan terdekat dan selamatkan tubuhnya terhempas ke tanah.

'Siapa itu!'

'Kau yang siapa? Akulah penghuni hutan ini. Apa yang kau cari?'

Ucapan-ucapan itu jelas sangat. Tapi dari mulut siapa?

'Aku persis dibawahmu anak muda. Harusnya matamu yang awas sudah temukanku dari tadi.'

Mengikuti ucapan yang terakhir, Tegodek gerakkan matanya ke bawah dan mencari gerangan si pemilik mulut.

Samar satu kepala menjulur dari cangkang dengan dua mata kecil tampak di indera lihatnya. Begitu samar karena sepintas semua warna tubuh mahluk itu sewarna tanah tempatnya berpijak.

'Aku Tetuntel. Kura-kura terakhir di pulau ini. Kau siapa anak muda?'

'Oh hai, aku Tegodek. Baru semalam ini sampai di hutan di belakangku.'

'Pantas aku tak pernah melihatmu dan tak segera mengerti baumu. Kau pendatang baru. Kabar apa yang kau bawa dari hutanmu yang lama?'

'Panas. Meski makanan kami berlimpah, namun panas menyedot semua energi yang kami dapatkan dari makanan. Itu sebabnya Tegodek Beleq mengajak keluarga besarku berpindah ke hutan ini.'

'Ah, Tegodek Beleq. Aku ingat cerita salah satu buyut jauhmu tentang cicitnya di hutan daerah barat. Rupanya dia kembali ke sini. Selamat datang di rumah leluhurmu Tegodek. Kadang-kadang, panas yang amat sangat memang membawa siapapun yang menjauh, pulang kembali ke rumah.'

'Apa? Benarkah kau setua itu Tetuntel? Jangan-jangan engkaulah Tetuntel dalam cerita-cerita ibuku. Sang Kura-Kura bijaksana, sejawat leluhurku Tegodek-godek yang juga masih diceritakan ulang para manusia pada anak-cucunya.'

'Kau benar anak muda. Aku memang Tetuntel dalam cerita ibumu, juga cerita yang diteruskan para manusia. Aku berkunjung kemari, karena alam membisiki aku tentang Rinjani yang kembali muntahkan tanah panasnya ke bumi. Aku harus pastikan siapa yang bertahan.'

'Ini tempat apa Tetuntel? Engkau yang bijaksana pasti mengetahuinya. Ibuku hanya ceritakan tentang air sebagai tempat peraduan sang mentari. Disini, justru mentari seakan keluar dari peraduannya.'

'Ini laut anak muda, tanah yang kupijak disebut pasir. Mentari memang keluar dari peraduannya. Mungkin tak ada yang ceritakan pada ibumu, bahwa mentari tidak saja harus tidur, tapi juga selalu terbangun setiap hari untuk menerangi bumi.'

'Hutan kami hanya selalu temukan mentari yang sudah tinggi. Aku tak pernah tahu bahwa mentari keluar dari peraduannya dari air di tepi terujung.'

'Sekarang kau sudah mengetahui keduanya Tegodek. Tugasmulah meneruskan cerita ibumu, kali ini dengan lebih lengkap. Ah, aku bahagia, kau sudah jauh lebih sopan dari leluhurmu dulu Tegodek. Leluhurmu dulu begitu susah merubah kelicikan dan kerakusannya.'

'Ya Tetuntel, khusus di dua keburukan itulah ibuku tak bosan berlelah-lelah menceritaiku, bahwa aku jangan sampai menirunya. Ibu mengajarkanku sembunyikan setiap biji dari buah masak yang kumakan di balik tanah, agar kelak keturunanku bisa rasakan manis serta lezatnya buah itu. Ibuku juga tak bosan ceritakan kebijaksanaanmu, tak bosan maafkan siapapun untuk sifat-sifat buruk mereka, termasuk sifat buruk leluhurku itu. Aku yang muda kembali memohon maaf dan jika engkau berkenan, ajarkanlah aku budi baik yang mungkin belum diajarkan ibuku.'

'Anak baik dari ibu yang baik. Tolong sampaikan salam terimakasihku pada ibumu. Baiklah, mulai sekarang kau bisa ikuti aku kemana pun aku pergi. Masih banyak kerabat lain yang harus aku temui, memastikan mereka baik-baik saja. Tapi bersabarlah, karena tubuh tuaku tak selincah badan mudamu. Bisakah kau bersabar Tegodek?'

'Untuk pengetahuan yang tak pelit kau bagi sepagi ini, aku akan mencoba bersabar menemanimu Tetuntel.'

Di ujung timur Lombok, di fajar yang belum juga merekah, seekor monyet muda dan tubuh tua kura-kura bergerak masuk kembali ke hutan. Di lokasi lain, di desa-desa, di kampung-kampung, di kota-kota, para manusia sibuk mengeluh atas panas. Atas debu yang kembali menebal selepas usapan ke sekian. Sedang tak bisa ingat cerita kebijaksaan seekor kura-kura, memaafkan kelicikan dan kerakusan monyet temannya yang enggan berbagi pisang temuan mereka berdua, dan kemudian mati hanyut di sungai. Karena hanya dengan kematian si monyet, para ibu monyet berikutnya tergerak untuk keras ingatkan anak-anak mereka agar tak sama licik dan rakusnya seperti leluhur mereka yang mati. Kematian yang tak diceritakan ulang. Tidak untuk diceritakan pada Tegodek muda.

Selong, 7 Nopember 2015.

*NB: Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju akun Fiksiana Community

*Silahkan bergabung di Group FB Fiksiana Community

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun