“Kalau begitu, aku titip surat untuk ayahku ya?”
“Boleh. Boleh.”
“Tunggu sebentar,” katanya sambil bangkit dan berjalan meninggalkanku.
Udara malam makin menyengat mengirim gigil sampai sumsum. Meski telah mengenakan jaket yang agak tebal, hawa dingin tetap menusuk. Hujanlah yang membuat Kota Banda Aceh diselimuti dingin yang tak biasa ini. Aku baru merasakan dingin sedingin ini ya kali ini. Saat pulang dua tahun lalu, suasananya biasa-biasa saja.
“Ini suratnya,” kata Suman sambil menyerahkan kepadaku sebuah amplop putih polos yang telah direkatkan. Aku sempat kaget juga, tiba-tiba saja ia sudah berada kembali di depanku, entah dari mana ia muncul.
Aku mengambil surat itu, melipatnya dan memasukkan ke kantong baju.
“Omong-omong bagaimana keadaan pesantren kita sekarang?”
“Sudah tidak seramai dulu. Santrinya tinggal sedikit. Hanya orang-orang di sekitar itu yang menjadi santri. Santri dari luar daerah tidak ada sama sekali. Sejak gonjang-ganjing ini, mereka tidak berani keluar dari kampung. Kalau keluar kampung ya ke kota sekalian, misalnya ke Banda Aceh, Medan, atau bahkah ke Jakarta.”
“Teungku Ubit bagaimana kabarnya?”
Kembali ia terdiam. Matanya kembali menerawang. Ia menarik napas pelan-pelan dan mengembuskannya perlahan. “Nasib Teungku Ubit juga menyedihkan. Ia mati di ujung senjata beberapa bulan lalu,” katanya pelan.
Kembali aku tersentak. “Mengapa?”