“Dia mati tertembak sebulan lalu.”
“Tertembak?”
Aku terdiam mendengarnya. Tak bertanya lagi mengapa Ali tertembak. Tidak ada yang perlu dipertanyakan. Aku tahu benar Ali. Dia orangnya alim dan pendiam, juga tidak banyak ini-itu. Dia lurus-lurus saja. Ali orang baik. Mengapa ia harus mati di ujung senjata?
“Hidup memang begitu rahasia. Hanya Tuhan yang tahu hidup dan kematian seseorang,” kataku.
“Tetapi di Aceh berbeda. Hidup dan kematian juga ditentukan oleh orang-orang yang punya kuasa dan senjata.”
Aku tidak menanggapi. Diam. Lama kami terdiam. Sunyi.
“Apa kabar kampung kita?” tanyaku kemudian.
“Aku sudah dua bulan tidak pulang kampung.”
“Mengapa?”
“Tidak bisa pulang. Kau sendiri belum sampai ke kampung?”
“Belum. Aku baru tiba tadi siang dari Jakarta. Malam ini aku ingin menikmati Kota Banda Aceh dulu. Ingin nostalgia. Besok aku baru pulang?”