Mohon tunggu...
Mustafa Ismail
Mustafa Ismail Mohon Tunggu... Editor - Penulis dan pegiat kebudayaan

Penulis, editor, pegiat kebudayaan dan pemangku blog: musismail.com | twitter: @musismail dan IG @moesismail

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Lelaki yang Ditelan Gerimis

9 Agustus 2012   16:41 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:01 156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Suman sudah sangat jauh berubah. Dulu badannya ceking, seperti tiang listrik kata teman-teman, sekarang padat berisi. Air mukanya serius, namun tetap memancarkan kesejukan. Beberapa helai jenggotnya dibiarkan memanjang. Kalau dulu ia suka memanjangkan rambut, sekarang tidak. Ia lebih rapi kini.

“Bagaimana bisa kau ada di sini,” tanyanya setelah ia menarik kursi dan duduk menghadap ke arahku. “Kudengar kau sudah jadi pengacara hebat di Jakarta,” ujarnya lagi.

“Enggak juga. Aku masih bekerja di kantor pengacara orang. Berarti itu belum hebat. Pengacara hebat tentulah sudah punya kantor firma hukum sendiri,” kataku. “Omongomong apa kegiatanmu sekarang?”

Pembicaraan kami terhenti ketika penjual makanan datang membawa secangkir kopi panas dan menaruh di depannya.

“Setelah lulus kuliah, di samping tetap di pesantren, aku juga menjadi aktivis LSM. Aku ingin berbuat sesuatu yang nyata pada rakyat dan memperjuangkan hak-hak mereka yang selama ini tertindas.”

“Oh ya? Tapi tidak pernah kudengar namamu ditulis koran- koran.”

“Aku bukan selebriti dan tidak hendak menjadi selebriti. Aku bekerja di bawah, menggali masalah-masalah yang dihadapi masyarakat dan mencoba mengatasinya. Misalnya kalau mereka mengungsi, kami mengupayakan anak-anak mereka tetap bisa sekolah dengan mendirikan tenda sekolah darurat. Atau kalau ada orang yang menjadi korban kekerasan, kami membantu mereka untuk memulihkan trauma atau membantu mereka melaporkan kepada Komnas HAM. Hanya pekerjaan-pekerjaan seperti itu yang bisa kami lakukan.”

“Tetapi itu sangat penting.”

“Memang penting. Aku sangat senang menjalaninya. Jadi aku tidak melakukan pekerjaan-pekerjaan besar seperti dilakukan teman-teman lain sehingga mereka bisa terkenal dan namanya kerap dikutip oleh koran atau teve. Kami melakukan pekerjaan-pekerjaan sederhana. Apalagi, dana dari founding kami pas-pasan. Aku tidak pandai bicara, jadi tidak bisa meyakinkan founding untuk mengucurkan dana besar.”

“Itu memang soal pilihan. Sebagai teman, aku sangat mendukung pilihanmu. Meski apa yang kalian lakukan kecil, cukup berarti dan dirasakan langsung manfaatnya oleh orang yang memerlukan. Tetapi, omong-omong bagaimana kabar teman-teman baik kita dulu?”

“Wah, mereka tersebar di mana-mana. Si Amat menjadi dosen dan hidupnya masih tetap sederhana. Maun kini menjadi anggota DPRD dan sudah kaya dia. Mobilnya aja dua, punya rumah yang cukup besar di pusat kota. Kalau Yahya kau pasti sudah tahu, setelah menjadi aktivis, dia menjadi tokoh dan selebriti. Bolak-balik ke Jakarta dan luar negeri. Hidupnya kini juga sangat makmur.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun