Judul ini tidak mewakili siapapun, apapun dan kapanpun. Ia hanya sejarah singkat dari perjalanan seorang perjaka yang mencariÂ
cinta diantara reruntuhan daun, gelombang laut pasang dan gemuruh angin yang menghembus. Dunia dirasa tak seindah kata-kata mutiara yang tersusun rapi, penuh janji. Dia tak merasakan nikmatnya hidup dalam usia remaja, pun tak merasakan kejamnya kejahatan hati seorang wanita. Dia cuma bisa bernafas dalam angan dan fatamorgana. Ya... Itulah _*HAMPA*_
Hujan Menjadi Saksi
Siang itu, tiba-tiba mendung menggelayut dan menggantung di langit. Rintik hujan tipis-tipis sudah mulai mencium bumi. Satu persatu turun pertanda hujan akan deras kembali.
Bunyi halilintar sudah saling bersahutan. Dari arah selatan dan Utara, Timur dan Barat, bahkan persis diatas atap rumah.
Aku mulai ketakutan sendiri. "Ya... Allah.... selamatkan hamba dari murka mu" begitu bisik lirihku.
Seorang teman karib mengirim WA,segera kubuka dan ku baca ; "mbak piye....Sido Nang Oma ta, Iki arek e wes Otw" selorohnya dalam bahasa Jawa.Â
"Astaghfirullah...." begitu tulis ku.
"Apa gak bisa di pending dulu to, mbak, ini hujan deras...? Aku gak bisa kalau hujan seperti ini harus ke rumah mu..." Jawab ku pendek.
"Lha...piye...? Opo takkon merono langsung?" Tanya nya pendek.
Aku bingung mau menjawab apa. Jika aku bilang "iya", terkesan seperti memaksa. Jika aku bilang "tidak" kok seperti nya aku menolak. "Allah..." Begitu keluhku dalam hati.
Beberapa menit kemudian, temanku berkirim foto nya, foto laki-laki bertubuh kekar dan tinggi, dalam kondisi kehujanan. "Mbak....dia akan meluncur ke rumah mu" bunyi catatan singkat dibawah foto itu.
"Allah....nekad benar anak ini...."Â
Diluar hujan mulai reda, menyisakan genangan air yang menguap dari sungai. Aku melihat sejumlah anak kecil berenang di air keruh didepan rumahku dengan riang gembira. Aku pun tersenyum melihat kelucuan mereka dari balik pagar besi rumah. Sambil ku sapa mereka. "Hati-hati...airnya mengalir kencang..." " Iya bunda..." Mereka menyahut bersamaan seperti ada yang memberi komando. Aku masuk rumah, minum teh hangat dan makan biscuit sebagai pengusir rasa penasaran ku pada bayangan sosok laki-laki yang nekat itu.
Laki-laki itu Bernama RAGIL
 Baru 10 menit aku duduk, tiba-tiba kulihat ada sepeda motor berhenti didepan rumah ku. Ku tengok keluar, kubuka pagar besi rumah ku dan ku sapa.... "Adek cari siapa? "Â
Kulihat seperti orang kebingungan dan bimbang. "Saya cari bunda. Bunda Rara" jawab nya pendek. "Ooo... Silahkan masuk. Masukkan sepeda motor mu ke garasi, biar aman" jawab ku pendek. "Engge" dia pun menjawab pendek dengan logat jawa yang halus.Â
"Mari silahkan masuk" ku persilahkan dia masuk ke ruang tamu, aku buatkan secangkir kopi panas dan makanan kecil ala kadarnya.Â
"Maaf ini desa, jadi makanan yang tersuguh tidak seperti makanan orang-orang kota" selorohku basa-basi.
Laki-laki ini tersenyum kecil sambil menjawab "mboten nopo-nopo, sami mawon". Terkesan sangat sopan, sederhana dan bersahaja.
Aku mencoba curi pandang darinya, saat dia mengatur nafasnya yang tampak terengah dan gugup.
"Namamu siapa dek ?" Begitu aku memulai membuka pembicaraan. "RAGIL, Bun" ....
Oooo.... "Kamu anak buncit ?" "Iya".
"Berapa saudaramu ?" "Tiga Bun. Semua perempuan, dan aku yang paling kecil" .... hmm....lancar juga ngomongnya, pikirku.
"Silahkan diminum kopinya, biar tidak dingin, makan juga jajannya, lumayan...buat ganjal perut"... candaku.
Adzan Maghrib pun Tiba
Dalam suasana sedikit penuh kecanggungan, adzan Maghrib di musholla sebelah berkumandang. Aku pun mempersilahkan dia untuk memilih tempat, musholla kecil di rumah ku, atau berjamaah di musholla kampung. Dengan sopan, dia memilih berjamaah di musholla Darussalam sebelah kanan rumah ku.
Setengah berbisik aku sampaikan, "lepas magrib, nanti dia datang kesini bersama ortu nya. Kamu sabar ya... Nanti kalau di musholla ada yang tanya, kamu bilang, keponakan bunda."Â
"Engge... Mohon ijin ke musholla dulu,"... "Monggo..." Sahutku pendek.
Yang Ditunggu pun Tiba
Jamaah di musholla Darussalam usai, laki-laki bernama Ragil ini pun kembali ke ruang tamu. Aku mencoba duduk berhadapan dengannya, sekedar untuk melihat ekspresi wajahnya. Sambil perlahan kutanyakan apa yang membuat dia nekat ke rumah dan menembus dinginnya air hujan dari Gresik ke Sidoarjo. Dia pun tersenyum sambil berkata lirih, "barangkali jodoh saya datang dari sini bun."
Plak ...wajahku seperti tertampar....memerah tak dapat ku sembunyikan. "Luar biasa keyakinannya"....begitu kata hatiku.Â
Laki-laki bertanggung jawab, pasti memiliki tekad yang kuat untuk memperoleh sesuatu. Cinta dan rindu adalah dua kata penguat bagi siapapun yang sedang dilanda kasmaran, begitu kata batinku.
Detik-detik yang ditunggu akhirnya tiba. Perempuan yang sudah saling tukar foto di no wa beberapa hari sebelum ini.Â
"Assalamualaikum" sapa ayahnya sambil masuk ke rumah. "Wa Alaikumus salam, monggo masuk....pinarak..." Begitu sahutku pendek.
Ragil menggeser duduknya, dan aku pun mempersilahkan sang sang cewek duduk di kursi sebelah Ragil. Satu persatu aku perkenalkan, setelah suasana sedikit cair, ku tinggal ke dapur untuk membuat teh dan kopi.Â
Ayah sang cewek mengikuti ku dari belakang, dengan alasan memberi kesempatan kepada putri nya untuk mengenal lebih jauh. Kami berdua mengobrol dengan topik masa depan anak dan calon menantunya, sementara sang kedua sejoli mengobrol dengan suasana hati mereka masing-masing.
_bersambung_
Surabaya, 5 Januari 2025
Musiroh MukiÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H