Sampai di depan kamar, dokter dan perawat hilir mudik. Suara tangisan Bu Rengganis menggema memenuhi ruangan. Tanpa perlu masuk, aku tahu keadaan yang telah terjadi.
Tiba-tiba telingaku tak mampu mendengar hiruk-pikuk manusia. Lorong rumah sakit menjelma sepi. Hanya ada suara dan bayang-bayang Arabella yang berputar layaknya kaset lama. Rona malu dan bahagia terlihat jelas ketika aku pertama kali berkunjung ke rumahnya, memintaku membawakan kue keju tiap ke sana, memaksaku bercerita sambil menunggu mamanya, lalu pelan-pelan ia beranjak menjadi gadis remaja yang manis, hingga akhirnya pergi mengejar mimpi yang entah sejalan atau tidak.
Pintu ruangan dibuka. Bu Rengganis melihatku dengan tatapan sedih. Bulir-bulir kecil masih menggenang menghiasi mata indahnya.
"Bella sakit lupus sejak 5 tahun yang lalu. Orangtua macam apa saya yang tak mengetahui itu sampai akhir hayatnya. Hiks hiks hiks" Aku hanya bisa diam, tak mungkin menarik Bu Rengganis ke dalam pelukan.
Diam, diam-diam kutertawakan sikap pengecut ini. Seandainya aku lebih mengutamakan perasaan daripada pandangan orang lain, berani mengambil risiko di pertemuan terakhir kami, mungkin Bella akan menikmati sisa-sisa hidupnya dengan bahagia. Ditemani orang yang dicinta, bukan menderita kesakitan sendirian. Tapi penyesalan selalu datang sebagai tamu terakhir. Datang dari jiwa yang lara dan merana.
Perlahan bulir air mata turun. Aku dan Bu Rengganis sama-sama menangis dalam sunyi, menangisi orang yang sama dengan penyesalan yang berbeda. Ucapan Arabella padaku sejak awal tak pernah main-main. Ia menunjukkan kesetiaan dan menjaga cintanya dengan tetap sendiri sampai akhir hayat.
Maafkan lelaki pengecut ini, Arabella..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H