"Ngga tau tuh Arabella, kayaknya lagi patah hati. Dari kemarin kuncian kamar terus. Giliran keluar, wajahnya udah cemberut dan sedikit bicara. Yah.. namanya juga anak muda," ucap Bu Rengganis ketika seperti biasa kami bicara empat mata di teras rumah.
Sudah 5 tahun berlalu, tapi kami masih sering membahas kerjasama pekerjaan di rumah Bu Rengganis. Bagiku beliau bukan cuma atasan di kampus, tapi juga senior dan pembimbingku di dunia kerja. Tanpa dukungannya sejak awal, tak mungkin aku dipercaya menjadi ketua jurusan pada usia 32 tahun ini.
Dan Bu Rengganis, sekali lagi memang pantas kukagumi. Pengamalan tri dharma perguruan tinggi dan dedikasinya pada kampus mendukung langkahnya menaiki satu per satu anak tangga menuju puncak. Ia terpilih menjadi Wakil Dekan II sejak setahun lalu.
"Bella sudah besar ya, Bu.." ucapku menimpali. Tidak, tidak. Maksudku yaaa.. benar Bella sudah jauh lebih besar, dibanding pertama kali kami bertemu kan dia masih seorang bocah SD.
"Tetap aja anak kecil bagi saya. Dia kemarin bilang, mau ambil kedokteran di Jepang. Ya saya ngga setuju lah. Masa punya anak semata wayang, malah mau ditinggal pergi. Saya ngga bisa hidup jauh dari Arabella, cuma dia yang saya punya," sanggah Bu Rengganis. Ada benarnya. Tapi entah kenapa aku jadi merasa bersalah.
Apa mungkin, Bella seperti itu karena ucapanku tempo hari..
Sore itu di hari Minggu, aku sedang bersantai di taman kota setelah jogging sendirian. Tiba-tiba Bella datang, sepertinya tak sengaja juga ia ke taman sebab pakaiannya terlampau rapi. Dan seperti biasa, ia terus 'melamar'ku.
"Om Abi, aku bentar lagi lulus sekolah. Apa udah boleh jadi istri Om Abi?" Kupandangi Bella sebentar. Wajahnya mewarisi kecantikan Bu Rengganis, bagai pinang dibelah dua, mengundang siapapun betah memandang lama-lama. Binar matanya masih sama, jernih dan penuh harap; membuatku tak tega untuk terus memangkas harapan gadis polos tersebut.
"Bella, usia kita beda terlalu jauh, 15 tahun. Kamu masih muda, kesempatanmu masih terbuka luas. Bisa melanjutkan kuliah ke kampus yang kamu inginkan, berteman dengan siapa saja, bebas melakukan yang kamu suka, dan tentu kamu bisa bertemu dengan lelaki yang jauh lebih pantas lebih baik lebih ganteng lebih muda dari saya. Kamu sudah saya anggap sebagai keponakan sendiri," ucapku panjang lebar sambil tersenyum.
Kukira perjalanan usia akan mengubah pandangannya untuk tak terus mengejarku. Tapi sepertinya Bella tak pernah bercanda. Dan entah kenapa, sore itu aku tak tega melihat matanya yang berkaca-kaca.
Bella tak berkata satu kata pun. Senyum manisnya pudar. Ia hanya mengangguk datar, lalu beranjak pergi.