PSBB Jakarta memang mulai kembali dijalankan. Namun PSBB nasional belum atau tidak dijalankan kembali karena new normal sudah disahkan.
Beberapa pembatasan memang masih ada, seperti sekolah yang masih daring, bekerja yang masih daring, acara yang mengundang massa dengan jumlah banyak masih dilarang dan semuanya diimbau dilakukan secara daring.
Di beberapa daerah, acara yang mengundang kerumunan justru semakin longgar di era new normal seperti ini.
Di daerah saya sendiri, sudah ada konser dangdut langsung dihadiri ratusan orang. Dan yang terbaru ada ondar, istilah lain untuk tempat hiburan malam dengan berbagai wahana di tengah lapangan desa.
Ondar sendiri mengundang banyak pedagang kaki lima berjubel di dalamnya. Berbagai macam wahana seperti kereta-keretaan, ombak air, bianglala dan wahanan dadakan lainnya bergelar setiap malamnya.
Selebaran informasi pengajian agama pun sudah mulai bertebaran. Ada yang mengundang kiai atau ulama kampung dengan bayaran seikhlasnya, ada yang mengundang kiai beken, grup musik rohani, dan berbagai macam tawaran siraman religi lainnya. Semuanya mengundang massa untuk datang bergerombol.
Salah satu pengajian yang ramai diperbincangkan adalah pengajian Syekh Ali Jaber di Lampung. Bukan pengajiannya yang disorot melainkan penusukan yang dilakukan seorang pemuda terhadap Syekh Ali Jaber.
Penusukan terhadap Syekh Ali Jaber tentu saja tidak dapat ditolerin karena bagaimanapun juga mencederai orang lain yang tak bersalah merupakan tindakan kriminal. Namun bagaimana dengan pengajian yang dilakukan di tengah pandemi? Apakah dapat disalahkan juga?
Siraman religi memang sangat bagus. Apalagi bagi mereka yang merasa jatuh atau kehilangan tujuan hidup sampai meninggalkan Tuhan dengan melakukan tindakan bunuh diri.
Dengan siraman religi atau petuah yang menyejukkan dari seorang ulama atau orang bijak, barangkali bisa menyuburkan kembali tanaman hati yang sempat layu akibat pandemi.
Namun apakah bijak menyelenggarakan pengajian agama secara langsung alias offline di tempat dengan mengundang banyak massa untuk datang hingga mengabaikan salah satu poin dalam protokol kesehatan yakni jaga jarak. Tentu saja jawabannya ada dua sudut pandang, ada yang setuju dan ada yang tidak.
Pertama, mereka yang menganggap sah-sah saja mengadakan pengajian agama karena melihat tetangga desa, kampung atau kota sebelah yang sudah terlebih dahulu mengadakan pengajian.
Lagi pula pengajian seperti itu biasanya harus lapor sana dan sini. Kalau di desa saya, baik pengajian maupun konser kadang curi-curi start artinya masih banyak yang mengadakan. Mereka berujar bahwa mereka sudah mengantongi ijin dari semua pihak.
Toh sudah bukan PSBB lagi, sekarang kan new normal.  Begitulah dalih mereka tidak mau kalah. Mereka juga yakin betul bahwa dengan mengadakan pengajian agama atau doa bersama, maka Covid-19 akan hilang atas izin Tuhan Yang Maha Esa.
Kedua, berbahaya jika mengundang kerumunan untuk datang. Poin kedua adalah mereka yang menganggap mengadakan pengajian secara langsung kurang bijak.
Massa yang datang pasti akan membludak jikalau pembicaranya orang yang terkenal. Siapa sih yang tidak ingin melihat secara langsung tauladan atau idolanya?
Mereka yang datang memang memakai masker, tapi yang namanya protokol kesehatan itu bukan hanya memakai masker, melainkan juga menjaga jarak, selalu mencuci tangan dengan sabun atau alkohol.
Jaga jarak akan sulit diterapkan di acara macam pengajian agama seperti itu. Lihat saja di video yang beredar. Apakah mereka yang datang di acara pengajian Syekh Ali Jaber menjaga jarak satu sama lain?
Inilah dua sudut pandang terkait pengajian agama yang dilakukan di tengah pendemi tapi yang jelas meskipun sebagian percaya pengajian agama secara langsung kurang bijak tapi penusukan orang tidak bersalah lebih kurang bijaknya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H