Pagi-pagi dapat kabar menyesakkan dada. Pandemi yang belum berakhir diperparah dengan kabar ini. Apa lagi kalau bukan kabar terkait BPJS yang naik melejit, tidak kenal waktu saja.Â
Di saat banyak orang ter-PHK, pendapatan menurun drastis, angka pengangguran mulai terbuka lebar. Di situ pula BPJS naik. Kenapa naiknya tidak menunggu tahun depan lagi saja?Â
Begitu kira-kira pertanyaan saya. Bukankah pemerintah punya data, berapa pastinya rakyat yang terdampak Covid-19. Pemerintah pun memegang data, kondisi ekonomi yang mulai melemah dan lesu selesu-lesunya.Â
Tapi kenapa justru BPJS yang jadi pelampiasan (lagi). Presiden kita memang sudah ngotot untuk menaikkan iuran wajib BPJS sejak setahun silam.Â
Cara ini dilakukan dengan alasan defisitnya anggaran BPJS kesehatan akibat mangkirnya peserta BPJS yang tidak membayar iuran secara rutin setiap bulannya. Sementara kebutuhan dan jumlah pasien melebihi prediksi.Â
Masih ingat berita saat pemerintah menolak menambal defisit BPJS? Sampai menyalahkan sana dan sini. Bukannya jalan keluar yang tercipta, kondisi justru makin risau saja.Â
Mahkamah Agung menolak kenaikan iuran BPJS yang diusulkan presiden. Tapi namanya kekuasaan eksekutif, maka presiden seolah-olah memiliki hak tertinggi sampai menolak keputusan MA tersebut.Â
Putusan MA Nomor 7P/HUM/2020Â tidak mempan bagi presiden. Melalui keputusan tandingan dengan dikeluarkannya Perpres Nomor 64 tahun 2020, presiden tetap pada pendirian awal, menaikan iuran wajib BPJS.Â
Tak tanggung-tanggung, kenaikan iuran bikin mata melongo tak keruan. Bayangkan saja, iuran wajib BPJS naik hampir 100 persen. Sebuah jumlah yang tidak tanggung-tanggung bukan?Â
Jika sebelumnya kelas 1 hanya membayar iuran 80 ribu rupiah, nanti bulan Juli (kalau Perpres benar-benar diaplikasikan) maka mereka wajib membayar 150 ribu rupiah. Begitu pula kelas 2 yang tadinya hanya membayar 51 ribu maka nantinya harus merogoh kocek lebih menjadi 100 ribu rupiah.Â