Mohon tunggu...
Musa Hasyim
Musa Hasyim Mohon Tunggu... Penulis - M Musa Hasyim

Alumni Hubungan Internasional yang suka baca novel kritik sosial dan buku pengembangan diri. Sering menyukai sesuatu secara random.

Selanjutnya

Tutup

Otomotif Artikel Utama

Nasib Mereka jika KRL Berhenti Beroperasi

18 April 2020   20:36 Diperbarui: 19 April 2020   01:15 632
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
PIhak KRL Commuter Line memasang tanda untuk penumpang, agar tetap menjaga jarak. (Foto via twitter : @@fahrul_anams)

Permintaan Anies Baswedan dan Ridwan Kamil untuk menghentikan KRL pada 18 April 2020, buntut diberlakukannya PSBB akhirnya resmi ditolak pemerintah pusat. 

Kedua gubernur itu beranggapan bahwa KRL selalu membawa ancaman virus terutama KRL dari arah Bogor (wilayah kekuasaan Ridwan Kamil) ke arah Jakarta (wilayah kekuasaan Anies Baswedan) maupun sebaliknya.

Saya sebelumnya ada pengguna KRL rute itu. Saya tinggal di Depok sementara saya harus kuliah di Salemba. Setiap hari, pemandangan berdesak-desakkan adalah hal lumrah terutama jika saya berpas-pasan dengan peak hour.

Apa mau dikata, tidak ada pilihan lain bagi saya selain menggunakan moda transportasi super murah itu. Saya sempat khawatir setiap hari apalagi waktu itu sudah ada warga Depok yang dinyatakan positif Covid-19.

Sebelumnya juga tersiar kabar bahwa KRL rute Bogor-Jakarta sangat rawan terhadap penyebaran virus yang bermula dari Wuhan itu. Bagaimana tuan Corona tidak menari-nari melihat KRL rute tersebut yang selalu saja penuh tak mengenal kata libur.

Terhitung Senin 16 Maret 2020, rektor di kampus saya memberlakukan kuliah jarak jauh di mana aktivitas kampus disetop untuk mengentikan persebaran virus yang masif. Saya menghela napas panjang mendengar kabar tersebut.

Saya tidak jadi membayangkan hal yang aneh-aneh karena saya tidak perlu ke kampus setiap hari. Hanya perlu duduk manis di dalam kamar sambil mengaktifkan aplikasi untuk menjalankan ibadah kuliah.

Meski kadang tugas kadang menumpuk, saya masih tetap bersyukur karena tidak perlu khawatir akan berdesak-desakan di dalam KRL lagi. 

Kampus juga menyediakan layanan perpustakaan daring di mana saya bisa mengakses jutaan buku atau jurnal digital melalui genggaman tangan.

Tapi di balik itu semua, masih banyak masyarakat yang tidak bisa meninggalkan aktivitasnya di luar rumah dan tidak bisa pula meninggalkan KRL. 

Perusahaan atau tempat mereka mencari nafkah tidak sepenuhnya memberlakukan sistem kerja dari rumah. Kondisi tertentu juga mengharuskan mereka melakukan aktivitas di luar rumah.

Sementara transportasi yang memadai bagi mereka adalah KRL. Mau tidak mau mereka harus naik KRL setiap hari demi keluarga di rumah. Ada beberapa deretan orang yang terbayang dalam pikiran saya yang memang tidak bisa lepas dari KRL.

Ilustrasi di dalam gerbong KRL, sumber: dokpri
Ilustrasi di dalam gerbong KRL, sumber: dokpri
Pertama, mereka yang menggandalkan Pasar Tanah Abang untuk membeli kain atau baju grosiran. Pasar grosir terbesar se Asia Tenggara itu merupakan tumpuan hidup bagi masyarakat yang berprofesi sebagai pedagang baju di daerahnya.

Pasar Tanah Abang paling mudah dijangkau dengan KRL karena begitu keluar dari stasiun Tanah Abang, mereka bisa langsung berbelanja. Mereka berbelanja barang cukup banyak, bukan untuk dipakai sehari-hari melainkan untuk dijual kembali.

Saya sering menjumpai masyarakat tipe ini. Mereka datang dan pulang membawa harapan dalam setumpuk karung yang mereka bawa. Dulu, saudara saya juga melakukan hal seperti ini sebelum akhirnya memiliki konveksi sendiri di kampung halaman.

Kalau KRL diberhentikan, bagaimana mereka mencari sesuap nasi? Bagaimana mereka membiayai kebutuhan sehari-hari? Bagaimana dengan uang sekolah anak mereka? Dan deretan pertanyaan lainnya yang tidak bisa dijawab jika KRL benar-benar diberhentikan.

Kedua, mereka yang menggandalkan KRL untuk berobat atau mengantarkan keluarga berobat setiap hari. Dulu, saya aktif di sebuah komunitas relawan untuk anak penyintas kanker. Setiap seminggu sekali, saya ke RSCM untuk memberikan hiburan bagi mereka. Apa saja yang bisa dihibur.

Kadang saya mendongeng atau kadang saya ke rumah pasien lalu merayakan ulang tahun bersama. Saya dan kawan-kawan relawan tidak boleh menangis selama kunjungan padahal melihat mereka dipenuhi alat bantu ini itu membuat kami sedih.

Dan mereka sangat bergantung pada moda transportasi KRL. Saya sering mendengar keluh orangtua yang tidak memiliki kendaraan pribadi. Mereka harus naik KRL.

Selain menghemat, uang mereka bisa digunakan untuk kebutuhan dan biaya berobat bagi buah hati mereka. Apalagi RSCM ini lumayan dekat dengan Stasiun Cikini.

Lantas jika KRL diberhentikan, bagaimana nasib orangtua yang harus bolak-balik ke RSCM? Bagaimana pengeluaran mereka jika KRL tidak beroperasi? 

Mereka tentu mau tak mau menggunakan transportasi lainnya yang berkali-kali lipat mahalnya dari KRL. Sementara kebanyakan dari mereka masih kesulitan sampai harus hutang ke sana kemari.

Ketiga, pedagang kaki lima di sekitar stasiun. Saya sering melihat mereka terutama di sepanjang Stasiun Manggarai. Jika KRL disetop, siapa yang mau membeli dagangan mereka. Apalagi di situasi Covid-19 seperti sekarang ini, banyak pedagang kaki lima terpaksa merumahkan dagangan mereka.

Tidak sedikit yang menganggap dagangan mereka tidak higienis dan rentan terhadap virus. Anggapan ini tidak sepenuhnya benar dan tidak sepenuhnya salah. 

Bagaimanapun juga, masyarakat harus lebih berhati-hati membeli makanan di pinggir jalan dengan gerobak di mana makanan-makanan itu tidak ditutupi plastik.

Kini usulan Anies Baswedan dan Ridwan Kamil benar-benar ditolak oleh pemerintah pusat. Luhut Binsar Pandjaitan, Ad Interim Menteri Perhubungan menolak usulan kedua gubernur tersebut dan tetap mengoperasikan KRL dengan berbagai banyak pertimbangan sulit.

Ada benarnya juga penolakan ini, karena negara kita bukanlah negara seperti United Emirat Arab, United Kingdom, atau Amerika Serikat. Kalau KRL disetop, akan berapa banyak dampak di balik itu semua.

Negara-negara besar di atas rata-rata memiliki penghasilan tinggi dan warganya membayar pajak yang tinggi pula sehingga di saat darurat seperti ini mereka masih memilki cadangan dana yang cukup besar. Sementara di negara kita, penghasilan warganya tidak begitu tinggi dan masih banyak warganya enggan membayar pajak.

Apakah negara kita memiliki dana untuk menggaji atau memberikan bantuan ke setiap warga yang terdampak akibat KRL disetop?

Dan apakah pemerintah daerah mau mengantarkan mereka-mereka yang terdampak ke rumah sakit minimal setiap dua hari sekali? Mau mengantarkan bantuan ke rumah mereka langsung karena mereka sudah tidak dapat berjualan lagi?

Memang bayang-bayang Covid-19 juga sangat menakutkan di setiap gerbong KRL. Inilah saatnya diberlakukan aturan ketat di setiap stasiun.

Pemerintah harus benar-benar membatasi jumlah penumpang, menambahkan jumlah hand sanitizer, memperketat aturan penggunaan masker, pengukuran suhu badan secara efektif dan memberi jarak 1-2 meter baik di ruang tunggu atau di dalam gerbong.

Perusahaan-perusahaan juga harus turut berperan. Mereka harusnya menyediakan kendaraan jemputan supaya pegawainya tidak mengandalkan KRL. 

Kendaraan jemputannya pun tidak boleh melebihi muatan. Tapi apa iya semua perusahaan mau menerapkan kebijakan berisiko itu? Pendapatan mereka juga pasti tidak sebanyak hari biasanya sampai PHK ada di mana-mana.

Tapi kembali lagi ke masalah awal, apa iya aturan-aturan di atas mampu menghentikan bencana Covid-19 dari bumi Indonesia?

Apakah itu semua cukup? Saya rasa tidak, masih diperlukan aturan-aturan ketat lainnya supaya pegerakan warga benar-benar dibatasi sekalipun KRL tetap beroperasi. 

Jangan malah menolak menyetop KRL tapi aturan masih belum begitu tegas dan ketat. Aturan masih longgar dan seolah cuek, ini yang berbahaya.

Dok.Kompasiana-Click
Dok.Kompasiana-Click

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Otomotif Selengkapnya
Lihat Otomotif Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun