Mohon tunggu...
Penaku
Penaku Mohon Tunggu... Mahasiswa - Anak-anak Pelosok Negeri

Menulis adalah Bekerja untuk keabadian. Awas namamu akan abadi dalam tulisannya

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Tentang Diri Ini

5 Juli 2022   17:21 Diperbarui: 5 Juli 2022   17:40 345
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Musafar Ukba : Dokpri 

Dua dekade telah berada dalam dunia yang fana ini. Bumi yang luas, bumantara yang beringas, kebahagiaan yang datang silih berganti pula bersanding dengan kedukaan tiada henti. 

Hakikat kehidupan selalu seperti itu untuk manusia yang rela dengan pena takdir untuknya, usaha mesti terus menerus, dikuatkan dengan do'a sebagai penguatan spiritual dan hasilnya merupakan ketetapan Tuhan yang tidak bisa diganggu gugat oleh manusia. 

Untuk diri ini yang masih dahaga kerongkongannya dalam luasnya hamparan angan-angan. Kering kerontang dalam panas terik, kadang-kadang mencari kedinginan lewat pohon rimbun untuk sekedar berteduh. 

Mengingatkan tentang analogi kehidupan seperti seorang musafir yang sedang dalam perjalanan jauh. Diujung sejauh mata memandang atau lebih dari itu perjalanan demi perjalanan pasti dilalui.

Manusia yang berkelana untuk sementara singgah dibawah rerimbunan untuk sekedar berteduh atau mengambil bekal disiapkannya, sebagai tambahan energi untuk melanjutkan safari dari titik awal kehidupan. 

Begitu susahnya menembus hakikat ini, jika diri tidak mampu belajar dan menemukan siapa sebenarnya diri ini. 

Harus kemana kah kaki melangkah?

Terlalu banyak jalan yang ditunjukkan, rumit, ribet, hati ini gusar, sudah benarkah jalan yang ditempuh ini membawa menuju keabadian atau justru kesengsaraan menanti pada tepian sana? 

Terlalu dini untuk bertanya-tanya, tapi inilah ego yang melekat dalam diri ini. Suka bertanya-tanya untuk mencari kebenaran dalam tujuan hidupnya.

Seandainya nirwana ditampakkan di depan mata sebagai ganjaran bagi orang yang patuh nan tunduk, maka kira-kira tiada konfrontasi, perselisihan, permusuhan, ambiguitas, karena semua telah jelas kebenaran ada di depan mata. 

Tetapi semua itu raib, lagi abstrak, Tuhan sedang sengaja untuk mengukur indikator manusia siapa yang betul-betul mau bersungguh-sungguh. 

Diri ini berangkat dari rumah pedesaan yang masih ada sedikit sopan santunnya dari pada yang ada di kota. Tapi jauh sebelum itu tubuh ini dengan tertatih-tatih belajar merangkak atau meringis kesakitan saat terjatuh. Untungnya ada manusia rahim yang ditiupkan perasaan kasih dan sayang dari Tuhan kepadanya. Siapa kalau bukan ibu. 

Lingkungan pedesaan yang masih asri, dominan hijau, masih bisa mendengarkan simfoni semesta pada pagi, siang, sore, malam pun seterusnya. 

Kebahagiaan bercokol dalam sanubari pada pedesaan yang adalah diri ini tumbuh dan berkembang disana. Sekarang mengenang bahkan mengucurkan air mata, tetapi barangkali, dua dekade menghembuskan nafas di dunia ini masih sangat merindukan masa-masa belum mengenal cinta. 

Satu hal yang pasti bahwa ternyata menjadi dewasa kejam ternyata. Sikap Lugu di desa, dibawah kemasyarakatan urban, jadi lagu-lagu pinggiran keserakahan. 

Kalau seperti ini barangkali terlalu cepat diri untuk menjadi dewasa atau manusia yang berlumuran dosa ini belum siap dengan hiruk pikuk kehidupan, semua hanya bayang-bayang fatamorgana. 

Bagaimana tidak mengejar sesuatu yang tidak pasti kata manusia-manusia yang sok suci itu, menyerahkan diri selalu kepada-Nya, sedangkan amplop sudah dikantonginya, menjual ayat-ayat Tuhan dengan murah dan sembarangan. Lalu kemudian suka menyesat-sesatkan orang dengan justifikasinya. Barangkali ini hanyalah prasangka buruk tapi semoga tidak sampai kebetulan. 

Bingung sendiri jadinya, ada banyak jalan yang mesti ditempuh, bercabang pula. Mana dulu yang diprioritaskan atau mana yang tidak perlu diikuti? Ah, semua tujuannya sama tapi jalan yang ditempuh beda-beda. 

Bukankah nash Nabi dalam ucapannya bahwa satu golongan yang akan selamat dari puluhan kelompok yang terjatuh dalam kesengsaraan, masing-masing mengaku golongan itu tapi neraka adalah diluar dari pada yang selamat itu. 

Bukankah ini rumit untuk dijelaskan dan hakikat kebenaran yang bagaimana yang mesti diikuti? Lah, manusia memang suka bertanya-tanya. 

Apapun jadinya, esensi kebenaran akan datang dan diketahui mana yang berada dalam jalan yang lurus, Tuhan Tunjukilah kami jalan yang lurus yang telah Engkau Ridhoi. 

Semakin kesini semakin merasa lingkungan terlalu kejam sehingga menjadi manusia yang berubah drastis. 

Bagaimana ini kalau ketika sudah kembali di kampung halaman, apa kata mereka, cibiran apa yang akan dilontarkan, tapi lebih kejam kalau bermuka dua. Menampakkan kesalehan pada kebanyakan orang, tapi dalam kesepian, aktivitas melecehkan diri sendiri dilakukan. 

Banyak kealpaan masa lalu yang sebetulnya masih bisa untuk dituangkan dalam sebuah untaian, bahkan yang luput sekalipun tiada terkira, 

sekiranya dan rasa-rasanya tidak perlu sedetail mungkin untuk diutarakan, karena suatu hal mesti diingat bahwa kebesaran Sang Pencipta adalah menutupi aib-aib dari tiap hambanya yang buat nista. Keterlaluan namanya kalau segala keburukan diri diterima dan dibaca melalui goresan sederhana ini. 

Pada sisi yang lain dari diri ini, tak bisa dipungkiri bahwa memiliki sensitivitas yang cukup tinggi. Terserahlah kalau orang lain mau menyebutnya baperan atau seperti apa, yang penting adalah itu bagian dari potensi dan manusiawi. 

Peka terhadap tiap situasi itu perlu karena berbagai lini kehidupan jika tak peka dengan kenyataan yang ada, kira-kira yang seperti ini berseberangan dengan kultur keindonesiaan. Tapi sudahlah, rasanya cukup jauh membahas budaya Nusantara yang beragam ini. 

Diusia sekarang memang analisa diri perlu sekali. Bagi organisatoris pasti dapatkan materi Analisa Diri pada lembaga-lembaga pergerakan ataupun perjuangan, terlepas dari itu analisa diri adalah suatu cara sistematis untuk mengukur kapasitas diri dan jatidiri pribadi itu sendiri. 

Sejauh manakah bisa melihat peluang, potensi diri, dan merasa nyaman untuk berada dimana seharusnya kita mengambil keputusan dan tindakan, kendatipun juga kadang-kadang harus keluar dari zona nyaman. 

Melalui ini juga perlu diterima sebagai keunikan dari pribadi penulis bahwa, sastra adalah bagian dari pada kehidupan yang tak bisa dipisahkan. Kalau sastra ada 3 yakni, Prosa, Puisi, Drama, itu semua merupakan akses untuk mengekspresikan diri. 

Namun penulis sendiri pun lebih menyukai prosa dan puisi, entah waktunya semenjak kapan, tapi kemungkinan saat rajin membaca buku bergenre Fiksi imajinasi ataupun buku-buku fantasi lainnya saat remaja atau menempuh sekolah menengah atas. 

Puisi adalah seni dalam bermain kata-kata. Kalau begitu bukanlah itu retorika? Ya, bisa jadi demikian, tapi ini dalam konteks retorika yang bermain-main dalam corak kepenulisan. Hanya yang memiliki jiwa seni untuk mahfum dengan hal ini. 

Orang suka menciptakan puisi dikatakan sebagai penyair, bukanlah diri ini menganggap seorang penyair tapi barangkali bagian dari pada itu. 

Dalam menyajikan puisi itu kadangkala makna sesungguhnya diketahui oleh penulis dan Tuhan karena semua kegelisahan dituangkan melalui tulisan tersirat(Metafora). 

Apalagi dengan isu termutakhir ini, yang membingungkan rakyat, pemerintah telah melakukan konsorsium dan lain sebagainya untuk membungkam mulut-mulut kaum intelektual, wabilkhusus Mahasiswa. Negeri Wakanda ini memang lucu. 

Sebuah kelaziman pada diri penulis yang kurang ajar ini suka menulis yang tidak-tidak, tapi di iya-iyakan saja. Lagi-lagi semoga lagu-lagu keserakahan tidak menyertai perjalanan ini, ada do'a ibu yang menjadi spirit antusiasme dan ada cita-cita dan cinta yang mesti digapai. 

Kelak dikemudian hari gempuran ini semestinya akan melatih diri untuk lebih mengerti akan realitas kehidupan ini dengan segala carut-marutnya. 

Pada intinya catatan keresahan pasti banyak terungkap, karena sejatinya tidak semua mesti diungkapkan dengan terus terang, kalau dalam lirik lagu Dere, "Bicaralah secukupnya, tak Semua Harus Terucap" cuman ini konteksnya adalah tulisan, jadi secukupnya saja apa yang mesti tuliskan. 

Semoga yang berkesempatan untuk membaca tidak juga mengernyitkan dahi, tapi harapan besarnya adalah kepala bisa mangut-mangut pertanda mengerti.

Untuk melukiskan diri sendiri tidak akan pernah habis dengan untaian kata-kata. Silahkan banyak belajar dan selalu senantiasa merefleksikan diri. Jangan lupa mengukir Aksara.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun