Semakin kesini semakin merasa lingkungan terlalu kejam sehingga menjadi manusia yang berubah drastis.Â
Bagaimana ini kalau ketika sudah kembali di kampung halaman, apa kata mereka, cibiran apa yang akan dilontarkan, tapi lebih kejam kalau bermuka dua. Menampakkan kesalehan pada kebanyakan orang, tapi dalam kesepian, aktivitas melecehkan diri sendiri dilakukan.Â
Banyak kealpaan masa lalu yang sebetulnya masih bisa untuk dituangkan dalam sebuah untaian, bahkan yang luput sekalipun tiada terkira,Â
sekiranya dan rasa-rasanya tidak perlu sedetail mungkin untuk diutarakan, karena suatu hal mesti diingat bahwa kebesaran Sang Pencipta adalah menutupi aib-aib dari tiap hambanya yang buat nista. Keterlaluan namanya kalau segala keburukan diri diterima dan dibaca melalui goresan sederhana ini.Â
Pada sisi yang lain dari diri ini, tak bisa dipungkiri bahwa memiliki sensitivitas yang cukup tinggi. Terserahlah kalau orang lain mau menyebutnya baperan atau seperti apa, yang penting adalah itu bagian dari potensi dan manusiawi.Â
Peka terhadap tiap situasi itu perlu karena berbagai lini kehidupan jika tak peka dengan kenyataan yang ada, kira-kira yang seperti ini berseberangan dengan kultur keindonesiaan. Tapi sudahlah, rasanya cukup jauh membahas budaya Nusantara yang beragam ini.Â
Diusia sekarang memang analisa diri perlu sekali. Bagi organisatoris pasti dapatkan materi Analisa Diri pada lembaga-lembaga pergerakan ataupun perjuangan, terlepas dari itu analisa diri adalah suatu cara sistematis untuk mengukur kapasitas diri dan jatidiri pribadi itu sendiri.Â
Sejauh manakah bisa melihat peluang, potensi diri, dan merasa nyaman untuk berada dimana seharusnya kita mengambil keputusan dan tindakan, kendatipun juga kadang-kadang harus keluar dari zona nyaman.Â
Melalui ini juga perlu diterima sebagai keunikan dari pribadi penulis bahwa, sastra adalah bagian dari pada kehidupan yang tak bisa dipisahkan. Kalau sastra ada 3 yakni, Prosa, Puisi, Drama, itu semua merupakan akses untuk mengekspresikan diri.Â
Namun penulis sendiri pun lebih menyukai prosa dan puisi, entah waktunya semenjak kapan, tapi kemungkinan saat rajin membaca buku bergenre Fiksi imajinasi ataupun buku-buku fantasi lainnya saat remaja atau menempuh sekolah menengah atas.Â
Puisi adalah seni dalam bermain kata-kata. Kalau begitu bukanlah itu retorika? Ya, bisa jadi demikian, tapi ini dalam konteks retorika yang bermain-main dalam corak kepenulisan. Hanya yang memiliki jiwa seni untuk mahfum dengan hal ini.Â