Melalui saluran Youtube Sekretariat Presiden (Minggu, 28/06/2020), khalayak merespon secara antusias tentang kemarahan presiden terhadap kinerja para menteri saat pandemi. Sama halnya, beberapa saat kemudian, @Matanajwa melalui saluran media virtualnya, Narasi.tv yang diunggah melalui akun instagram, juga mengonstruksi tentang nada tinggi presiden, sebagai bentuk amarah atas kekecewaan presiden terhadap jajaran kabinetnya.
Tidak seperti biasanya, antusiasme khalayak internet meningkat drastis. Sebelumnya, unggahan atas konten terkait presiden di berbagai media terkesan biasa saja. Hanya sekitar puluhan hingga ratusan saja. Namun, kali ini, khalayak ramai justru memberikan sentimen positif terhadap apa yang menjadi kegelisahan orang nomor satu di Nusantara saat ini.
Tentu, hal ini terlihat dari ribuan komentar yang bernada dukungan terhadap evaluasi presiden terhadap jajarannya. Misal, pada akun Youtube Sekretariat Presiden, dengan judul konten, "Arahan Tegas Presiden Jokowi pada Sidang Kabinet Paripurna, Istana Negara 18 Juni 2020", usai empat jam diupload jumlah viewers mencapai 41 ribu lebih, dengan jumlah komentar mencapai 1,2 ribu.
Sementara, pada media sosial Instagram @matanajwa, dengan judul konten, "Peringatan Bernada Tinggi dalam Rapat Kabinet, Jokowi Ancam Reshuffle Menteri", membukukan 282. 236 tayangan usai tiga jam dirilis. Serta, tercatat sebanyak 2.314 komentar yang mayoritas mendukung evaluasi Presiden Jokowi.Â
Gaya komunikasi presiden dalam sidang kabinet paripurna pada sesi tersebut, secara non-verbal merupakan bentuk kekecewaan presiden terhadap jajarannya. Nada tinggi disertai kerutan kening disertai gaya bahasa tubuh lainnya tidak dapat dipungkiri, bahwa luapan emosi tidak terhIndarkan.
Hal itu jelas menguatkan pesan dan arahan yang terujar melalui penegasan bahasa dan beberapa contoh arahan kepada para menterinya. Hal tersebut, seakan mengisyaratkan bahwa para menteri perlu melakukan kerja-kerja luar biasa di masa pandemi ini.
Hal ini wajar dan mestinya evaluasi tersebut dilakukan, mengingat kondisi riil pada masyarakat tidak sedang dalam keadaan baik-baik saja. Sektor ekonomi harus bertekuk lutut dengan pertumbuhan ekonomi di kuartal kedua yang kurang dari empat persen.
Belum lagi, pemutusan hubungan kerja terjadi di berbagai usaha dan instansi. Pada sektor kesehatan pun berimbas, insentif tunjangan dan bonus bagi para tenaga kesehatan juga terkesan lamban dalam penyaluran hak-hak mereka. Sektor kesehatan mengeluhkan susahnya akses mendapatkan alat penunjang kinerja mereka.
Pada sektor sosial pun serupa, kerancuan data dijumpai di mana saja. Sektor pendidikan juga tidak kalah leburnya, ditengah menurunnya pendapatan, masyarakat disusahkan dengan naiknya pembayaran bulanan (SPP dan UKT Mahasiswa).
Beragam respon khalayak terkait pidato presiden terkait hal ini. Mayoritas khalayak mendukung upaya presiden  evaluasi kinerja menteri. Satu diantaranya justru meminta semua jajaran pemerintahan dari presiden hingga satuan ketua Rukun Tetangga (RT) harus bahu membahu menyelesaikan permasalahan yang ada.
Presiden dalam kesempatan itu, sempat empat kali mengulang kalimat serupa yang intinya menekankan untuk menaruh empati yang sama. Maksudnya, semua pihak memiliki rasa tanggung jawab sama dalam mengatasi krisis pada masa pandemi. Pemerintah diminta untuk kerja luar biasa dan menghilangkan langkah standar dan linear agar langkah kebijakan segera dirasakan oleh 267 juta rakyat Indonesia.Â
Konsep, 'Rawe-Rawe Rantas, Malam-Malam Putung, Bersatu Kita Teguh, Bercerai Kita Runtuh', merupakan semboyan yang harus ditanamkan guna mengurai pesan dan arahan tegas dari presiden.
Sebenarnya tidak tertuju pada para menteri kabiner semata, tetapi juga kepada seluruh aparatur pemerintahan. Konsep, 'Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing' harus menjadi kesadaran semua lintas pemerintahan, dari pusat hingga daerah. Beberapa khalayak melalui kolom komentar banyak yang menyarankan hal ini.
Bahwa, kerancuan kinerja saat ini adalah tanggung jawab bersama. Â Tidak lagi bicara desentralistik atau otonomi daerah saja, tetapi bagaimana semua pihak harus sepakat saling kuat menguatkan satu sama lain. Tanpa harus saling 'cemburu' dengan berdalih, 'siapa melalukan apa'.
Hiruk pikuk penangangan masyarakat terdampak misalnya, Kementerian Sosial sebagai penanggung jawab harus melakukan tindakan ekstra ordinari. Jajaran kementerian baik baik negeri maupun kontrak harus diberikan penugasan ekstra dengan semangat akuntabilitas dan integritas tinggi.
Penulis merupakan mantan Pendamping Sosial, yang pernah menjalankan tugas dari kementerian sosial dalam upaya penyaluran dan pembinaan pada Program Keluarga Harapan (PKH).
Karut marut dijumpai dimana saja, dari mulai pendataan yang ambur adul, hingga penyaluran yang penuh hambatan. Pemutakhiran data dilakukan secara kontinue, namun semua itu menjadi basa, sesaat data terbaru kemiskinan tidak dikerjakan oleh jajaran dinas sosial ditingkat kabupaten/kota. Padahal, penulis sudah berjuang serius dengan menggelar musyawarah desa yang melibatkan jajaran aparat desa dan semua tokoh masyarakat.Â
Belum lagi, nyatanya, penulis justru mendapati salah satu oknum ketua RT bertindak diskriminatif, manakala ada salah seorang warganya yang nyatanya wajib dibantu, namun dicoret dari daftar penerima manfaat bantuan sosial. Ini tanda tidak serius dan hilangnya rasa empati dari pemimpin terbawah dalam satuan masyarakat.
Naasnya lagi, aparatur negara tingkat kabupaten justru sama sekali tidak melakukan input data, sehingga basis data yang masuk ke pemerintah pusat nyaris tidak ada perubahan sama sekali. Masih saja penulis jumpai data lama yang secara status sosial terjadi perubahan ekonomi. Sehingga memungkinkan, mereka sudah mampu, dan bahkan sebagian telah keluar dari kemelut ekonomi.
Akibatnya, saat krisis pandemi, borok kementerian sosial terkuak jelas. Semua pihak kalang kabut menghadapi kerancuan data penerima manfaat. Saling salah menyalahkan satu sama lain. Konflik pun tidak terhindarkan.
Belum lagi, disaat kiris pandemi, beberapa oknum justru melakukan tindakan yang merugikan semua pihak, dengan melakukan pemotongan bantuan sosial. Tindakan ini sangat melukai hati rakyat.Â
Solusinya adalah bagaimana kementerian ini segera melakukan tindakan ekstra dengan memberdayakan semua komponen. Tentu, perlu ada langkah ekstra, misalnya dengan adanya aplikasi digital pendukung gerakan sosial ini.
Pendamping sosial yang tadinya hanya validasi, untuk saat ini mohon berikan keleluasaan untuk dapat memasukkan keluarga penerima manfaat yang layak dan sangat layak untuk menerima bantuan.
Begitu juga aparat desa dan kelurahan diberikan keleluasaan penggunaan aplikasi untuk memasukkan data siapa saja yang layak menerima bantuan itu. Prinsipnya, semua pihak jangan sampai melakukan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.Â
Bangsa ini bukan milik presiden, juga bukan milik menteri. Bangsa ini juga bukan milik partai politik, ormas tertentu, atau bahkan pendamping sosial. Tetapi, bangsa ini milik semua pihak, bertanggung jawab untuk seluruh warga negara. Selama rasa memiliki dengan kesadaran tinggi tidak ada, maka selama itu permasalahan bangsa tidak akan dapat diselesaikan.Â
Belum lagi, sebagian masyarakat saat ini ditimpa dengan buruknya pelayanan publik. Listik PLN 'Mota-Mati' dijumpai diberbagai belahan negeri. Sehingga berimbas pada pelayanan ekonomi dan pendidikan. PLN Mati, layanan pendidikan pun terhambat.
Merdeka Belajar pun hanya sekedar wacana. Signal jaringan internet pun mendapatkan imbasnya. Tentu, sektor ekonomi digital dan pendidikan berbasis online pun terhambat.Â
'Ngamuk'nya presiden, penulis lihat sebagai amarah besar rakyat Indonesia. Jawab dan respon semua amarah tersebut, dengan kesadaran untuk sama-sama merasakan susahnya rakyat Indonesia saat ini.
Karenanya, wajar, jika presiden kali ini justru memperoleh dukungan besar dari masyarakat terhadap evaluasi paripurna untuk para menteri dan jajarannya. "Mari Layani Setulus Hati".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H