قيل: والعلّة في تحرِيم بيع الثّلاثة الأول هي النّجاسة ولكنّ الأدلّة على نجاسة الخمر غير ناهضة
“Ada yang berkata bahwa alasan pengharaman jual beli tiga benda pertama (khamar, bangkai dan babi) adalah karena kenajisannya, namun dalil-dalil mengenai kenajisan khamar itu tidak kuat”.[11]
4. Ibnu Ustaimin (w. 1421 H) juga dalam kitab Majmu’ fatawa wa rosa’il al-Ustaimin beliau berkata :
ومن المعلوم أن الميسر والأنصاب والأزلام ليست نجسة نجاسة حسية، فقرن هذه الأربعة: الخمر والميسر والأنصاب والأزلام في وصف واحد الأصل أن تتفق فيه، فإذا كانت الثلاثة نجاستها نجاسة معنوية، فكذلك الخمر نجاسته معنوية لأنه من عمل الشيطان.
“Telah diketahui bahwa berjudi, (berkurban untuk) berhala dan mengundi nasib itu hukumya bukanlah najis secara hissy(sensory). Juga dalam ayat, Allah Ta’ala menyamakan 4 hal, yaitu : khamar, berjudi, (berkurban untuk) berhala dan mengundi nasib dalam satu sifat, tentu seharusnya hukum ke-empat hal tersebut pun sama. Oleh karena itu jika berjudi, (berkurban untuk) berhala dan mengundi nasib itu hukumnya najis secara maknawi (abstract), maka begitupula khamar karena ia termasuk perbuatan syaithon”.[12]
Kesimpulan
Demikian uraian pendapat para ulama mengenai najis dan tidaknya khamar, dimana mayoritas ulama 4 madzhab berpendapat akan kenajisannya dengan berlandaskan pada Q.S Al-Maidah: 90 yang menyatakan bahwa khamar itu rijsun dan itu memiliki arti najis. Sedangkan para ulama lainnya berpendapat akan ketidak-najisannya dengan mengatakan bahwa najis yang dimaksud adalah najis secaramaknawi (abstract) yang hukumnya berbeda dengan najis secara hissy (sensory).
Mudah-mudahan tulisan singkat ini dapat memberikan wawasan baru bagi para pembaca, sehingga kita semua memiliki sikap bijak dan berlaku adil dalam bertindak. Juga tentunya Penulis berharap agar ibadah yang kita kerjakan bernilai sempurna, yang diantaranya dengan memperhatikan perkara ini.
Wallohu Ta’ala a’lam.
[1] Al-kasani, Bada’i asshona’I fi tartibi assyaro’I, jilid 1, hal. 66
[2] As-Sarokhsi, Al-Mabsuth, jilid 1, hal. 95
[3] Ar-ru’aini, Mawahib Al-Jalil Fi Syarhi Mukhtashor Kholil, jilid 1, hal. 120
[4] Al-Qarafi, Adz-dzakhiroh, jilid 1, hal. 164
[5] An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarhu Al-Muhadzab, jilid 2, hal. 563
[6] As-Syarbini,Mughni Almuhtaj ila ma’rifati ma’ani alfadz al-minhaj, jilid 1, hal. 225
[7] Ibnu Qudamah, Al-mughni, jilid 1, hal. 44
[8] Al-Mardawi, Al-Inshof fi ma’rifati Ar-Rojih min Al-Khilaf, jilid 1, hal, 318
[9] Ibnu Taimiyyah, Majmu’ Al-Fatawa, jilid 21, hal 16
[10] An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarhu Al-Muhadzab, jilid 2, hal. 56.
[11] As-Shon’ani, Subulussalam, jilid 2, hal. 4
[12] Ibnu Ustaimin, Majmu’ fatawa wa rosa’il al-Ustaimin, jilid 11, hal. 251
[caption caption="gambar: lensaindonesia.com"]