Waktu kecil, cerita tentang ibu kota memang selalu mengenyam ditelinga. Bukan pertama kali saya menginjakan kaki di ibu kota. Tapi kesekian kalinya berkunjung ke kota Metropolitan, kali ini berbeda. Bagi politisi, pengusaha, bahkan pekerja sudah tentunya bukan hal yang baru untuk datang ke ibu kota yang katanya ingin di pindahkan.
Sore itu saya dan beberapa teman setelah selesai dari kegiatan kewartawan, sedikit mencoba mengelayap . dari bundaran HI, stasiun Gambir dan mampir sebentar di depan galeri Nasional Indonesia menikmati seduan kopi pedagang jalanan.
Menyetir sedikit lirik lagu Iksan Skuter "gedung-gedung ditinggikan" namun beberapa pedagang asongan dijalanan depan galeri Nasional tak setinggi gedung-gedung para pengatur negara ditengah wabah varian baru Omicron. Saya tertawa melihat sedikit pemandangan yang ada.
"Negeri tempat lahir saya lebih makmur" kata hati saya sembari meneguk kopi diantar kepulan asap rokok dari mulut
Bukan membedakan antara Bacan dan Jakarta, namun Ibu dari kota yang ada di seluruh Indonesia yang harusnya menyusui seluruh kota yang ada seperti kekurangan asi. Apalagi aturan Pemerintah yang di desain berpusat ke kota. Sepertinya seluruh Kota Indonesia harus ke Jakarta untuk dapatkan ASInya.
"Ditengah Omicron yang mewabah, apa sih yang membedakan Jakarta dan Bacan? Tanya Rifal mencoba memaksakan dialeg orang Jakarta. Spontan, Ipul, Apik dan Adi tertawa mendengar celotehan si Rifal. Saya malah asik mengetik membuat cerita yang barusan terjadi dengan gedjet yang saya pegang.
Saya mulai terus menulis, mencari kata dan bahasa yang menggambarkan kenyataan suasana saat itu.
"Kita lagi di Jakarta, lagi nyantai bareng berlima menikmati kopi dijalan" sahut Rifal mebalas pertanyaan dari Abang Sarjan lewat Handphonenya.
Semakin diam menikmati kopi, Saya berhasrat menyolakan Omicron dan pengaruhnya di daerah, lagi-lagi tertahan dengan cemasnya mbak Siti yang lalu lalang tak tenang.
"Mbak Siti kenapa gak tenang? Tanya saya. "Saya baru dapat 20 ribu, soalnya dari pagi gak jualan dibubarin Tim satgas" jawab Mbak Siti sambil melipat kerudungnya yang kusut ke dahinya.
Dari jawban mbak Siti, saya mencoba membandingkan beberapa pedagang jalanan yang pernah saya jumpai sepanjang jalan Medan Merdeka Timur dengan pedagang jalanan yang ada di Bacan.
Memang berbeda sih! Jakarta yang adalah ibu kota seluruhnya harus dengan uang. Maluku Utara, Negeri paling bahagia, Pedagang jalanan di Maluku Utara mainannya iPhone. Aneh juga kalau dipikir. Padahal, pedagang jalanan di Maluku Utara kebanyakan orang dari Jakarta. Aneh kan?
Asik nulis, si Rifal kembali berulah. Lagi-lagi dia meniru gaya bahasanya orang Betawi. Kedengarannya aneh seperti ateis ngejelasin tentang Tuhan. Hal biasa, soalnya si Rifal tinggalnya di Kasiruta Dalam (Kasdam) daerah Bacan Barat Maluku Utara.
Jakarta memang asik bagi para pendatang yang punya uang. Namun tak seperti kami berlima yang datang dari Bacan. Modal berani, dengan dana seadanya kita mampu ikut serta dalam Musyawarah Nasional Forum Pers Independen Indonesia (FPII) yang menurut Bunda Kasihati Selaku ketua Presidium, FPII adalah organisasi Pers Paling Seksi di Indonesia.
Greb tiba dan kami berlimapun kembali ke penginapan serbah murah diantar sama pak Koko Hariyanto, sopir Greb yang mukanya seperti Indro Warkop.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H