Mohon tunggu...
Murni Rianti
Murni Rianti Mohon Tunggu... Pustakawan - Pustakawan SMK Yudya Karya Kota Magelang

Membaca, menulis, traveling, berkebun, bertanam, kurator, olah raga jalan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Penunggu Taman Putri

7 Januari 2023   23:39 Diperbarui: 7 Januari 2023   23:44 282
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Banyak orang menyukai taman dekat pos kamling. Suasana di sana teduh rimbun dengan aroma lembut, wangi maskulin, segar dan memberi rasa nyaman. Kenyamanan untuk healing. Saking nyaman dan bagusnya, tempat ini sering dijadikan tempat nongkrong gratis dan selfi. Itu termasuk aku dan teman-teman. Kami pasang gaya sesuai selera masing-masing. Jepret jepret lalu melihat hasil foto sejenak. Hanya untuk memastikan diri kita ada di foto itu.

Pagi ini Lusi memberi kabar gaya fotoku yang aneh.

"Aneh gimana Lus," tanyaku ingin tahu.

"Perasaan sebelah kanan kamu ga ada siapa-siapa. Tapi di foto itu kamu sama seseorang gandengan. Jumlah wajah kita pas. Kita bertujuh bukan? Pas aku lihat  lagi ternyata ada orag lain. Wajahnya wajah putri yang cantik seperti Ken Dedes."

"Ah, yang bener."

"Bener!"

"Oke deh, aku lihat dulu. Makasih info Ken Dedes yang cantik."

"Kamu kok malah santai. Ga takut waktu itu kamu didekati arwah."

Aku diam saja. Tak membalas ucapan sahabatku itu. Aku  bergegas membuka galeri. Tak menemukan hal aneh malah aku berpikir, Lusi terbayang-bayang sesuatu atau gangguan mata saja."

Merasa tidak ada yang aneh, tangan ini melanjutkan lagi kegiatan pagi rutin sebelum berangkat kerja. Memindah beberapa pot ke posisi lain. Mengubah tatanan taman agar tersiram air hujan. Air hujan banyak vitamin untuk tanaman. Sayang kalau tidak digeser ke tepi jalan setapak menuju teras. Mumpung sudah mulai gerimis. Hujan saat ini, hujan pertama setelah seminggu puasa. Memang, sekarang musim hujan, tapi mendung tak selalu bakal turun hujan.

Sudah beberapa hari ini aku melupakan Ken Dedes yang dimaksud Lusi. Pertemuanku dengan Lusi di rumah makan Minang Meriah mengingatkan aku soal Ken Dedes.

"Eh, Lus. Foto Ken Dedes yang kamu maksud yang mana?"

"Ah, lupakan saja. Ga ada siapa-siapa di sana. Tapi aku kasihan sama kamu,"

"Maksudmu?"

"Pagi itu aku kasih info ke kamu. Malamnya Ken Dedes datang ke mimpiku. Cantik dan wangi. Sambil tersenyum, Ken Dedes bilang, Pacarnya Dewi itu suami saya Lusi. Jangan takut, saya tidak akan mengganggu kalian. Asal kalian bolehin saya jalan-jalan bersamanya pas saya rindu healing ke taman itu. Belum tentu saya datang setiap hari, sebulan sekali, atau setahun sekali. Ketika saya rindu taman itu, saya akan datang. Banyak tempat indah yang saya rindukan. Ini tempat keseribu satu. Kalau hari keseribusatu saya ke situ, belum tentu juga kalian pas di situ.

Sesungguhnya aku cemburu dengan Dewi. Aku sungguh-sungguh menyayangi pacarnya. Tetapi aku tidak jadi marah, karena sikap Dewi biasa saja. Aku baru sadar kalau Dewi tidak nengetahui kehadiran pacarnya. Jadi aku diamkan saja pacarnya itu menggandeng Dewi. Aku menggandeng tangan suamiku. Tangan dan lengan yang satu. Satu tangan dan lengan menempel ke lengan Dewi."

Luna berhenti menceritakan mimpi waktu itu. Matanya melihat ke luar rumah makan Minang Meriah. Aku mengikuti ke mana tatapan Luna bergerak. Tak kusangka, aku juga melihat Ken Ddedes. Melayang pergi entah kemana. Kaki ini tiba-tiba bergerak ke luar ruang. Menyaksikan putri cantik dan wangi serta ramah. Dia tersenyum, membuat aku tersenyum juga. Seolah mengiringi kepergiannya aku melambai. Di sana seperti ada pangeran yang pernah sangat dekat di hatiku.

Kenanganku mengembara ke waktu itu. Aku pernah memiliki wajah tampan itu. Tangan ini melambai melihat Ken Dedes melayang bersama si ganteng. Si ganteng juga melayang. Sambil tangannya tak henti melambai. Sampai tak tampak lagi.

Menghilang dari tatapanku, membuat aku mengenang dia yang pernah ada di hatiku. Semoga dia selalu baik-baik saja. Aku jadi teringat senyumnya, sikapnya yang ramah dan selalu wangi. Dia bukan perokok. Kemana saja pergi, selalu membawa sikat dan odol. Senyum itu membuatku kembali teringat dia.

Tak sadar aku melihat ke langit. Iringan kereta kencana sangat panjang ada di sana. Kereta terdepan tampak tangan melambai. Entah tangan betulan atau aku yang berharap.

"Eh, Dewi, ngapain kok senyum-senyum. Teringat masa lalu ya,"

Aku hanya tersenyum. Sekali lagi melihat ke langit. Hanya tampak langit biru saja. Langit biru yang bersih bertabur mawar merah. Tak ada tanda-tanda akan mendung.

Aku melangkah menuju tempat dudukku tadi. Sambil mengingat kepergian dia berenang di pantai tapi tak pernah kembali. Berhari-hari hingga sampai lima tahun ini tak ada kabar. Ternyata kamu terbang ke langit dan tak pernah kembali gara-gara ketemu Ken Dedes. Apakah itu Ken Dedes KW? Entahlah.

Wajar saja, si ganteng tergoda. Pria-pria bangsawan waktu mudanya Ken Dedes saja banyak yang kepincut kecantikannya. Apalagi si ganteng hanya warga biasa. Yang mendapat kesempatan tergoda dan digoda Ken Dedes. Ternyata Ken Dedes juga suka si ganteng, sampai terus terus terang ke Luna. Pergilah. Sekarang aku tak penasaran lagi. Karena kamu suka Ken Dedes. Kamu juga bahagia bersama Ken Dedes. Sekarang aku ikhlas.

"Habis ini kita ke taman Ken Dedes ya, " kataku dengan bahagia.

"Taman Ken Dedes itu mana," tanya yang lain.

"Taman Putri itu. Aku lebih suka bilang Taman Ken Dedes. Taman yang cantik seperti Ken Dedes." Aku tersenyum sambil mata ini melihat bulatan hitam mata Luna.

Ajakanku yang tiba-tiba tentu saja mengagetkan Luna. Yang lain oke-oke saja.

"Ngapain?" tanya Luna.

"Wanginya tempat itu, indahnya tempat itu, dan nyamannya tempat itu obat untuk lelah." Ucapku seadanya.

"Lha, kamu kok capek. Habis kerja apa?"

"Yang capek mataku, pingin lihat cantiknya bunga di sana. Biar mataku segar kembali."

Yang lain setuju saja. Kecuali Luna.

"Pakai obat tetes mata. Jangan kelamaan main. Ingat juga tanaman kamu jangan terlalu lama kehujanan. Nanti masuk angin. Apa kamu mau bawa juga tanaman kamu yang kehujanan terlalu lama ke taman itu biar ikutan healing."

Kali ini aku tersenyum. "Ken Dedes makin suka ke sini karena dapat paket tanaman." Bisikku ke Luna. Luna hanya mendengus.

Kami sibuk menyantap isi piring masing-masing sambil sesekali melontarkan cerita. Hujan yang tiba-tiba datang membuat kami kaget. Secerah itu, tiba-tiba mendung dan langsung hujan. Angin kencang mengiringi jatuhnya air hujan. Semua mata melihat ke jendela. Derasnya hujan menunda langkah kami. Harus bersabar sampai angin besar reda. Sekitar empat puluh tiga menit angin menemani kami di rumah makan Minang Meriah.

Selesai segala urusan di rumah makan Minang Meriah, perlahan kami meluncur pulang. Kali ini tidak mampir ke taman. Hanya lewat saja sambil pulang. Ternyata taman itu porak-poranda.

"Dewi, kamu tetap harus bawa beberapa tanaman kamu ke taman Putri Ken Dedes. Biar sehatnya tanaman kamu menulari tanaman di sana."  Tulis Luna di hp.

"Ini artinya, Ken Dedes dan si ganteng kehujanan Luna...."

"Waaaah," hanya itu tanggapan Luna. Sampai bertahun-tahun tidak ada balasan lain dari Luna. Kami tak lagi pernah bertemu. Itu artinya.....  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun