"Eh, Lus. Foto Ken Dedes yang kamu maksud yang mana?"
"Ah, lupakan saja. Ga ada siapa-siapa di sana. Tapi aku kasihan sama kamu,"
"Maksudmu?"
"Pagi itu aku kasih info ke kamu. Malamnya Ken Dedes datang ke mimpiku. Cantik dan wangi. Sambil tersenyum, Ken Dedes bilang, Pacarnya Dewi itu suami saya Lusi. Jangan takut, saya tidak akan mengganggu kalian. Asal kalian bolehin saya jalan-jalan bersamanya pas saya rindu healing ke taman itu. Belum tentu saya datang setiap hari, sebulan sekali, atau setahun sekali. Ketika saya rindu taman itu, saya akan datang. Banyak tempat indah yang saya rindukan. Ini tempat keseribu satu. Kalau hari keseribusatu saya ke situ, belum tentu juga kalian pas di situ.
Sesungguhnya aku cemburu dengan Dewi. Aku sungguh-sungguh menyayangi pacarnya. Tetapi aku tidak jadi marah, karena sikap Dewi biasa saja. Aku baru sadar kalau Dewi tidak nengetahui kehadiran pacarnya. Jadi aku diamkan saja pacarnya itu menggandeng Dewi. Aku menggandeng tangan suamiku. Tangan dan lengan yang satu. Satu tangan dan lengan menempel ke lengan Dewi."
Luna berhenti menceritakan mimpi waktu itu. Matanya melihat ke luar rumah makan Minang Meriah. Aku mengikuti ke mana tatapan Luna bergerak. Tak kusangka, aku juga melihat Ken Ddedes. Melayang pergi entah kemana. Kaki ini tiba-tiba bergerak ke luar ruang. Menyaksikan putri cantik dan wangi serta ramah. Dia tersenyum, membuat aku tersenyum juga. Seolah mengiringi kepergiannya aku melambai. Di sana seperti ada pangeran yang pernah sangat dekat di hatiku.
Kenanganku mengembara ke waktu itu. Aku pernah memiliki wajah tampan itu. Tangan ini melambai melihat Ken Dedes melayang bersama si ganteng. Si ganteng juga melayang. Sambil tangannya tak henti melambai. Sampai tak tampak lagi.
Menghilang dari tatapanku, membuat aku mengenang dia yang pernah ada di hatiku. Semoga dia selalu baik-baik saja. Aku jadi teringat senyumnya, sikapnya yang ramah dan selalu wangi. Dia bukan perokok. Kemana saja pergi, selalu membawa sikat dan odol. Senyum itu membuatku kembali teringat dia.
Tak sadar aku melihat ke langit. Iringan kereta kencana sangat panjang ada di sana. Kereta terdepan tampak tangan melambai. Entah tangan betulan atau aku yang berharap.
"Eh, Dewi, ngapain kok senyum-senyum. Teringat masa lalu ya,"
Aku hanya tersenyum. Sekali lagi melihat ke langit. Hanya tampak langit biru saja. Langit biru yang bersih bertabur mawar merah. Tak ada tanda-tanda akan mendung.